Selasa, 16 September 2008

Matinya NU Moderat

Setelah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-30 tahun 2004 lalu, banyak kalangan menengarai bahwa bandul gerakan NU akan semakin bergeser ke kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan semakin menguatnya arus konservatif dalam tubuh NU dan semakin jauhnya kader-kader kritis NU dari arus struktur NU. Ketika mendapat kritikan itu, Hasyim Muzadi (HM), Ketua Umum PB NU, menjawab secara diplomatis: bukan NU bergeser ke kanan, tapi karena selama ini terlalu lama berada di kiri, sehingga bergeser ke tengah dianggap ke kanan.

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang saat ini terlihat lebih moderat.

Apakah ini bentuk keseimbangan baru yang dimunculkan HM di tubuh NU. Harus diakui, ketika HM menjadi Ketua Umum PB NU sejak 1999, pengaruh Gus Dur sangat kuat. Namun pelan-pelan dia mulai menggeser pengaruh Gus Dur di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU. HM cukup sukses melakukan ini. Bukan hanya menggeser orang-orang yang dianggap Gus Dur-ian, tapi juga meminggirkan anasir-anasir pemikiran Gus Dur. Sekarang, di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU, pengaruh HM cukup kuat, banyak menggeser pengaruh Gus Dur. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuatnya dukungan pengurus cabang dan wilayah pada HM dalam Muktamar ke-30 lalu.

Setelah berhasil menggeser pengaruh Gus Dur, HM mulai berani beroposisi secara terbuka dengan Gus Dur. Dalam berbagai isu-isu penting, HM dan Gus Dur nyaris selalu berbeda pendapat. Bahkan, ada yang berkomentar, HM sudah sampai pada taraf “asal beda” dengan Gus Dur. Dalam konteks kebangsaan, mereka berdua memang masih dalam satu suara tentang finalnya NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada keharusan mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, derivasi dari masalah kebangsaan ini masing-masing punya cara pandang sendiri.

Eksemplar terbaik untuk mengulas masalah ini adalah penyikapan atas tragedi Monas 1 Juni lalu. Dalam kasus ini Gus Dur dapat disebut sebagai tokoh terdepan dalam melawan anarkisme Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Gus Dur berteriak kencang agar keberadaan organisasi ini ditinjau ulang. Gus Dur juga mengutuk keras aksi kekerasan di Monas yang juga membuat beberapa putra terbaik NU menjadi korban. Karena sikap Gus Dur ini, Rizieq Sihab, pemimpin FPI, mengeluarkan “lidah api”-nya dalam sebuah dialog di tv swasta dengan mengatakan “Gus Dur tidak tahu apa-apa karena dia buta mata dan buta hati” (3/6/08). Sebuah pernyataan yang jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang diungkapkan seorang Gus Dur. Sekeras-kerasnya –ataupun nyelenehnya ungkapan Gus Dur tidak pernah lepas dari koridor intelektualisme, bukan hinaan fisik seperti layaknya keluar dari mulut orang yang tidak paham agama. Karena ucapan ini, kantong-kantong NU yang masih setia kepada Gus Dur bergerak mendesak agar FPI dibubarkan.

Karena itu, kalau boleh saya simplifikasi, penyikapan atas tragedi Monas bisa menjadi sedemikian massif, terutama di wilayah Jawa, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena yang menjadi korban sebagian adalah aktivis-aktivis muda NU. Kedua, karena faktor Gus Dur, terutama ucapan Rizieq Sihab yang menyakitkan itu. Saya yakin, kalau tidak ada faktor ini, tidak akan ada gerakan di kantong-kantong NU melawan FPI.

Hal yang paling menarik di tengah situasi itu adalah sikap HM. Dalam konferensi pers beberapa hari setelah tragedi Monas, dia mengatakan agar korban tragedi Monas tidak dikait-kaitkan dengan warga NU. Dia juga minta agar warga NU tidak dijadikan umpan untuk berkonfrontasi langsung melawan FPI. Alih-alih memberi simpati kepada warga NU yang menjadi korban dan menghujat FPI, HM dalam pernyataan-pernyataannya justru lebih condong memberi dukungan kepada FPI. Pernyataan demikian berulang kali dia ucapkan dalam berbagai kesempatan.

Bahkan, dalam sebuah situs internet diberitakan PB NU mengirim tim yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU untuk membela Rizieq Sihab. “LPBH-NU ikut sebagai bagian tim hukum yang sudah ada untuk mendampingi dan membela Habib dalam perkaranya,” kata Ketua LPBH NU Sholeh Amin saat menjenguk Rizieq di Rutan Narkoba, Polda Metro Jaya (http://www.detik.com 9/6/2008). Sejauh ini belum ada bantahan atas berita tersebut, meskipun ada informasi bahwa HM meminta Sholeh Amin agar menjadi pembela Rizieq atas nama pribadi, bukan atas nama NU.

Akibat sikap HM ini, sikap masyarakat NU yang sudah geram terhadap FPI akibat tindakan-tindakan anarkisnya pun mulai terbelah. Sebagian besar pengurus struktural NU mulai termakan oleh ucapan HM. Tragedi Monas dianggap sebagai skenario kelompok sosialis untuk membenturkan NU dengan FPI. Karena mendapat angin dari HM, FPI di Jatim yang sudah tertekan merasa mendapat angin. Bahkan, FPI Jember yang sudah membubarkan diri dihidupkan lagi dan mendapat support dari seorang tokoh NU Jakarta yang sengaja datang ke Jember. Demikian juga dengan FPI Madura yang justru semakin berani “menantang” karena angin HM ini.

Sikap ini sungguh sulit diterima akal sehat. Saya tidak melihat alasan apapun dari sikap HM ini kecuali hanya sekadar ingin berbeda dengan Gus Dur. Anak-anak muda NU yang menjadi korban tragedi Monas dikenal sebagai aktivis yang dekat dengan pemikiran Gus Dur. Harus diakui juga, gerakan massif di berbagai daerah adalah kantong-kantong pendukung Gus Dur. Sebelum simpati terhadap Gus Dur menggelinding semakin besar, tidak ada pilihan lain bagi HM kecuali harus menghambatnya. Daripada sejalan dengan Gus Dur, HM lebih memilih bersimpati dan “mendukung” FPI.

NU Periode HM ; Periode Matinya NU Moderat ?

Menurut saya, kasus ini merupakan degradasi sikap ke-NU-an yang luar biasa atas kelompok yang gemar mengumbar kekerasan. HM telah mendevaluasi kehormatan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dikenal moderat. Klaim Islam moderat dan rahmatan lil alamin yang dikampanyekan HM di banyak forum nasional maupun internasional seolah runtuh karena sikapnya ini. Posisinya sebagai Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sama sekali tidak tercermin.

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

Situasi demikian tidak bisa dibiarkan. Harus dipikirkan bagaimana menjaga kesimbangan NU, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam gerakan praksis-nya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, NU harus meneguhkan kembali sikapnya sebagai Islam moderat dan antikekerasan. Bukan hanya dalam retorika, tapi harus dibuktikan secara konkrit.

Kedua, pemimpin NU harus menjauhkan diri dari sikap “asal beda” dengan orang yang dianggap sebagai lawannya. Sikap asal beda ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan seseorang, dan kita sulit mempercayai seorang pemimpin yang mempunyai karakter demikian. Ketiga, sudah saatnya, kader-kader NU di berbagai lapisan mulai memikirkan mencari figur pemimpin yang berani “pasang badan” untuk menjaga kehormatan NU, juga kebhinekaan Indonesia. Seorang pemimpin seperti sosok seorang Gus Dur.


Senin, 25 Agustus 2008

Ironi Puasa

Bulan Ramadlan tinggal beberapa hari lagi akan kita jalani. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang menyambut kedatangannya dengan riang gembira, karena orang-orang yang termasuk golongan ini adalah salah satu dari golongan yang akan merasakan manisnya surga di akhirat kelak. Amin. Sejenak kita bertafakur tentang puasa-puasa yang telah kita lalui pada tahun-tahun sebelumnya, berupaya mencari kekurangan puasa kita sambil mengupayakan apa kelebihan yang perlu kita pertahankan.

Secara etimologi puasa/shiyam adalah "imsak" (menhaan). Dalam terminologi fiqih, puasa berarti menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, mulai dari fajar shubuh hingga terbenam fajar (maghrib) Dalam terminologi kultural, puasa sering dimaknakan sebagai satu bentuk aktifitas yang berupaya mengekang hawa nafsu/keinginan fisik dan duniawiyah yang berlebihan. Karena inilah, dalam kontek kultural ini puasa sebenarnya sudah dikenal sejak masa sebelum Islam dan bahkan sudah menjadi bagian dari budaya-budaya spritual ajaran-ajaran non muslim.

Secara umum ibadah puasa memiliki makna sebagai bentuk ibadah yang mengharapkan subyek pelakunya mampu menahan keinginan dan nafsu jasmani duniawiyah nya secara berlebihan. Bentuk penahanan paling mendasar adalah dari kebutuhan dasar jasmani/badaniyah yaitu makan, minum, dan seks. Namun sekali lagi, ini adalah hal yang paling mendasar, dengan dasar tujuan -sekedar- memnuhi standar syar'iyah fiqhiah.
Harus di ingat, bahwa setiap amal ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT selalu memiliki tujuan-tujuan syar'iyyah (maqasid al-Syar'iyah) tertentu, dan standar kompetensi dan ketuntasan ibadah. Seperti halnya orang yang melakukan Sholat, bisa jadi dalam standar fiqhiyah ia telah tuntas, namun dalam standar kompetensi syar'iyah yang diharapkan ia belum mencapai ketuntasan. Karena sholatnya belum mampu membuat ia "tanha 'anil fahsya wal munkar". Istilah kerennya ; Sholat ok, maksiat jalan terus !.
Singkatnya, kalau puasa memiliki standar ketuntasan ibadah agar pelakunya mampu memiliki "ketahanan" untuk mengekang dari mengumbar nafsu serta sikap konsumerisme, maka orang yang hanya mampu menahan kebutuhan makan, minum dan seks semata belum bisa dikatakan telah tuntas dalam syariat puasa ini.

Pada sisi inilah kita bisa menemukan "Ironi Puasa" di sekitar kita. Ada kebohongan masal yang bisa kita saksikan setiap datang bulan Ramadlan. Meida dengan acara-acara relgiusnya, artis-artis yang berubah 180 derajat menjadi begitu islami, dan yang lebih parah adalah meningkat tajamnya sikap hidup konsumtif umat Islam. Melonjaknya harga kebutuhan pokok setiap menjelang Ramadlan menjadi bukti yang paling sederhana, bahwa sikap konsumtif kita semakin melonjak ketika datang bulan Ramadlan. Karena harga kebutuhan biasanya dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan konsumen.

Satu sisi, puasa mengharapkan pelakunya untuk bisa menahan diri, bersahaja, dan mengekang agar tidak mengumbar keinginannya terhadap kebutuhan-kebutuhan duniawi, namun di sisi lain, kebutuhan belanja kita biasanya semakin meningkat dengan datangnya bulan Ramadlan. Bisa dikatakan, hal ini bukan saja belum memiliki ketuntasan syariat puasa, tapi lebih jauh tidak sesuai dengan standar kompetensi syariat puasa itu sendiri.

Melihat kondisi ini, kalau kita memakai istilah Al-Ghazali, maka puasa kita bukan saja belum mencapai tingkatan khowas -apalagi khowasul khowas, bahkan untuk dikatakan puasa awam saja sebenarnya belum layak. karena bukan saja kita baru bisa memenuhi standar fiqhiyah paling dasar dalam puasa, tapi justeru yang lebih parah dalam pemenuhan standar inipun kita memiliki banyak ironi.

Wallahu a'lam

Fiqh dari Khulafaurrasyidin hingga Mazhab Liberalisme (Bag.3)

"Lingkaran  yang  kedua,  merupakan  madzhab  yang menggunakan
rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab
ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn
Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha'if harus
lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak
dilaksanakan di Saudi Arabia.

"Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang
dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus
diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka
adalah al-Mashalih al-Mursalah.

"Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi'i yang dipelopori Imam
Syafi'i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih
banyak menggunakan analogi atau qiyas.

"Sedangkan kelompok kelima, terakhir, adalah mazhab yang
frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih
dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits.
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi."

Untuk memberikan contoh madzhab yang paling "Umari", marilah
kita melihat madzhab Hanafi. Ketika Raqabah ibn Musqilah
ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: "Abu Hanifah adalah
orang paling pandai tentang apa yang sudah terjadi." Yang
dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits
Nabi. Apa yang belum terjadi adalah ketetapan hukum
berdasarkan qiyas.

Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn
Khaldun, hal itu dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat
syarat-syarat penerimaan hadits. Kata Dr. Ahmad Amin,
kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak
merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits
dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah
pernah dilaporkan berkata: "Seandainya Rasulullah berjumpa
denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama
itu ra'yu yang baik?" Barangkali ini penegasannya tentang
keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat
yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: "Musuh-musuh Abu
Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada
hadits. Ia memprioritaskan ra'yu dalam mengeluarkan keputusan
fiqh. Ia menolak banyak hadits demi ra'yu. Abu Shalih al-Fura
menuturkan, "aku mendengar Yusuf ibn Asbath berkata, Abu
Hanifah menolak 400 atau lebih hadits Nabi saw. ... Kataku:
"Berikan sebagian contohnya." Katanya: "Rasulullah berkata,
kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata
Abu Hanifah: "Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih
banyak daripada bagian seorang Mukmin." Rasulullah melakukan
isy'ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan
kurbannya. Kata Abu Hanifah: "Isy'ar adalah penganiayaan."
Nabi bersabda: "Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya
berpisah." Kata Abu Hanifah: "Bila jual beli wajib, tidak ada
khiyar." Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian.
Kata Abu Hanifah: "Undian itu judi." Kata mereka: "Pada zaman
Abu Hanifah, ada empat orang sahabat. Abu Hanifah tidak
tertarik untuk menemui mereka." Ibn Abu Syaibah dalam bukunya,
pada bab khusus, menyebut hadist-hadist yang ditolak Abu
Hanifah dan mencapai 150 hadits.

Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf.
Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan
'Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan
al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi
tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab
Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen
mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak
heran kalau Fazlur Rahman sering --bahkan paling sering--
menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya.
Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang
situasional kepada hadits yang "berdiri sendiri", menerima
hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan "sunnah yang
dikenal baik" sebagai kriteria terhadap "semangat dan sikap
kolektif" dari hadits.

Kita tidak akan membicarakan pengaruh Abu Yusuf terhadap
metodologi Rahman (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan
untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Rahman pada
perkembangan pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa
dengan mempelajari fiqh-fiqh klasik, kita akan terkejut
menemukan bahwa klaim orisinalitas pembaruan Rahman --yang
berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam bukunya, Tafsir
Kontekstual-- hanya dapat diterima oleh orang yang tidak
mempunyai dasar dalam pemikiran Islam tradisional. Rahman,
bagi madzhab Hanafi, tidak berbeda dari Ibn Taimiyah bagi
madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya
berhak disebut Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap
Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap
fuqaha al-ra'y; sebagaimana kritik Rahman terhadap hadits
(sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra'y terhadap
fuqaha al-atsar.

Kita akan membicarakan kritik pembaruan Rahman di akhir
tulisan ini. Sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita juga
meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur'an, sebagai
latar belakang teoretis dalam memahami penafsiran al-Qur'an
yang dirumuskan oleh Rahman.

TAFSIR BI 'L-RIWAYAT DAN TAFSIR BI 'L-DIRAYAT

Fiqh al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat,
sebagaimana fiqh al-ra'y mempunyai persamaannya dalam tafsir
bi 'l-dirayat. Tafsir --menurut Muhammad Ali al-Shabuni--
adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, Muhammad saw, dan menjelaskan maknanya serta
menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh
dengan menukil penjelasan dari al-Qur'an lagi, al-Hadits,
pendapat sahabat dan tabi'in, maka tafsir itu disebut tafsir
bi 'l-riwayat atau tafsir bi 'l-ma'tsur. Bila tafsir itu
berpijak pada ijtihad mufasir --dengan mengerahkan kemampuan
nalar dan/atau intuisinya-- maka kita menyebutnya tafsir bi
al-dirayah atau tafsir bi 'l-ra'y.

Di antara kedua jenis tafsir itu, para mufasir menganggap
taisir bi 'l-riwayat adalah yang paling dapat dipercaya. Di
antara jenis-jenis tafsir bi 'l-riwayat, tafsir al-Qur'an
dengan al-Qur'an adalah yang paling baik. Sesudah itu, baru
tafsir al-Qur'an dengan al-Sunnah (misalnya, lewat asbab
al-nuzul). Rupanya, dari sinilah Rahman mengajak kita untuk
menafsirkan al-Qur'an dengan melihat al-Qur'an secara
keseluruhan dan dengan melihat "sebab-sebab pewahyuan".
Anehnya, tafsir bi 'l-riwayat seperti ini diambil Rahman
ketika berbicara tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman
ketika membahas aspek teologis dan eskatologis ajaran Islam.
Untuk yang terakhir ini, Rahman hampir sepenuhnya berpijak
pada tafsir bi 'l-dirayat. Untuk mengapresiasi metode
penafsiran Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita
lihat.

Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur'an yufassir
ba'dhuhu bad'dhan, yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya,
kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul, yang --menurut
Rahman-- dapat mengungkapkan latar belakang situasional,
membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan al-Qur'an,
serta menggali prinsip-prinsip universal ajaran Islam.
Akhirnya, kita akan menelusuri akar-akar penafsiran Rahman
pada tafsir bi 'l-dirayat.

Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an mempunyai basis dalam
petunjuk-petunjuk al-Qur'an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan
al-Sunnah. Nabi saw. menafsirkan kata zhulm dalam, wa lam
yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk berdasarkan
ayat inn al-syirk la-zhulm 'azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini
dilanjutkan oleh para sahabat. Ibn Abbas menafsirkan dua
kematian dan dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan
merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia mati,
ketika berada dalam tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian
Allah menghidupkan mereka di dunia. Setelah itu Allah
mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali pada Hari
Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan bahwa waktu minimal
kehamilan adalah enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan
QS 46:15.

Banyak kitab tafsir mengaku menggunakan metoda ini. Abd
al-Karim al-Khathib al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya
al-Tafsir al-Qur'ani li al-Qur'an. Bila kita teliti
kitab-kitab itu, kita akan menemukan prosedur penafsiran
Qur'ani yang bermacam-macam. Paling tidak, kita dapat
membaginya ke dalam kelompok: tafsir Qur'ani yang murattab
(berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah sampai al-Nas) dan
tafsir Qur'ani maudhu'i (berdasarkan tema-tema atau
topik-topik tertentu)

Untuk mengetahui prosedur penafsiran qurani yang murattab,
kita uraikan jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba'i, dalam
Tafsir al-Mizan.

Pertama, "maka ayat-ayat al-Qur'an dilihat dari konteks
ayat-ayat itu" (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks
adalah "semua yang mengungkapkan ( makna) lafadz yang ingin
kita pahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik yang
bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat
tunggal yang berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami,
atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang
menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan." Misalnya, ayat
"Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat" (QS
37:96). Tanpa melihat konteks ayat, kita akan terjatuh ke
dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam kisah ucapan
Ibrahim kepada para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah
barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah menciptakan
kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa
"apa yang kamu perbuat" adalah berhala-berhala itu.

Kedua, "ayat-ayat lain dipergunakan untuk memahami ayat-ayat
yang mujmal atau sama, mempermudah makna yang sulit, atau
menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan dalam
al-Qur'an." Yang dimaksud dengan "khalifah" dalam surah
al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam, tetapi meliputi
anak-cucunya, dengan melihat surah al-A'raf ayat 69, Yunus
ayat 14, dan al-Naml ayat 62. Yang dimaksud dengan kata
al-mustaqar dalam surah al-Qiyamah ayat 12 adalah "tempat
kembali" dengan melihat surah al-Insyiqaq ayat 6, al-'Alaq
ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.

Tafsir maudhu'i baru muncul belakangan. Perbedaan antara
tafsir maudhu'i dengan tafsir murattab mirip dengan perbedaan
antara thesaurus dengan dictionary. Tafsir maudhu'i dimulai
dari topik, kemudian dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan topik tersebut. Pengantar pada tafsir ini --sepanjang
pengetahuan saya dari kalangan kaum Muslim-- ditulis oleh
Muhammad al-Baqir al-Abthahi. 26. Ja'far Subhani menulis
serial mafahim al-Qur'an (sampai sekarang sudah selesai lima
jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: "... (Kita)
kumpulkan setiap ayat yang berkaitan dengan pengertian
tertentu dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu
kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan
kesatuan pandangan yang lengkap dan kesatuan pemikiran yang
menghimpun dan meliputi seluruh ayat tersebut. Kadang-kadang
ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada
surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang berbeda
dalam surah yang sama. Al-Qur'an menunjukkan dalam setiap
surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu
itu.

"... Kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak
pada pandangan Qur'ani yang utuh tentang topik tersebut.
Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau
mengetahui tujuannya karena jarak kita yang jauh dari zaman
wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya ayat
itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada
masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam
hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam
menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan."

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME

Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan
pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.
Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap
al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan
semangat dan jiwa al-Qur'an. Kedua, kita harus mengambil
sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan
memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik
dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita
harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan
pendekatan ta'aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari
masalikul'illah gaya lama dan mengembangkan perumusan 'illat
hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari
masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan
pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah
untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN

Rahman dalam Tema Pokok al-Qur'an memperinci metodologi
penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan
historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara
ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an; ketiga,
pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar
belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang
kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam
perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari
yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di
atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum
ajaran al-Qur'an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita
aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa
ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya
dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.

KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN

Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari
al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks
lahir al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima
teks-teks itu begitu saja (secara ta'abbudi). Kita harus
menggunakan akal (ta'aqquli). Pandangan ini menimbulkan
beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna
lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita
meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki
makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah
dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai
menutupi dada mereka" (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan
perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita
abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau
ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah
hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup
diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran
Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata
"menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata
sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka
dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus
dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan
nafsu.

Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi
yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat
al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi
pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai
kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan
tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan
teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan
makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai
pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa
kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi
(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak
perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan
kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada
fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah
pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para
sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan,
Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan
ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka
memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu
puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan
tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan
produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at
dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada
masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam
perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang
payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru
saja menyelenggarakan seminar yang menguras energi. Dengan
kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan
pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan
pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi
justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status
quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang,
Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai
alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan
usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena
justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN

Metodologi Rahman --seperti telah disebutkan di atas--
bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh
makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami
sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak
kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh
gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat
Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial
ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa
ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu
itu? Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali
ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan
historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut
dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat
membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah
sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam
buku ini (h. 224), para orientalis --lewat "analisis
sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh
Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab
al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi
--pada saut yang sama-- "menilai bahwa literatur asbab
al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan
kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab
Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap
hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja",
bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai
prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh
para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab
al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu,
sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik
rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang
bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara
dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan
dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa
al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan
dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab
wahid).

Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak--
adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan
dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat
digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi
ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik
(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh).
Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam
situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga
khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek
legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw.
meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang
itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa
kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup
atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat
disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah
kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan
mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum
Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu
menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih
hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush
al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini
oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab
al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks historis
sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang juga
tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.
Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk
menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur'an
("ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya hukum (ratio
legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman
menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab
al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi
sosial dari tarikh yang dapat kita akses.

Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman --juga
kebanyakan ulama-- pengharaman khamr ini berlangsung secara
gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum
merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan
komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai
masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat
ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, "... ketika
manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi
membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan."
Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah
Rahman setuju, jika kita menyimpulkan --dari kesimpulannya--
bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas
informal tidak haram.

Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an terhadap khamr.
Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69),
tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91).
Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang
pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah
diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena
sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman
ditegaskan berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash
bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras).
Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat
menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang
terakhir. Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah,
kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia,
karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."

Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat
pada peristiwa masuk-Islamnya A'sya ibn Qais. Ketika ia
bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di
tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang
Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,"
kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir,
Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka lagi. Dan
seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal
masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh
sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan
oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara
yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah
minuman khamr.

Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah
al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian
--baik yang tampak maupun yang tersembunyi-- dan dosa
(al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan
Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana
ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya
kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada
dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk surah yang turun
dalam periode Makkiyah awal.

Tentang surah al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan
kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr-- al-Jashash
menjelaskan: "Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya
tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini
saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa
semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya
mengharamkan kekejian... dan dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah
tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk
khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai
penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia
tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat
itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat
duniawi bagi pelanggarnya." Walhasil, pengharaman khamr
diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat masih
tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri
dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut
riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"

Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan
hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena
basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang
harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang
kurang diperhatikan Rahman).

CATATAN

1.Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari,
Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar
al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah
al-Salafiyah.

2.Fath al-Bari, 1:457

3.Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai "orang yang
berjumpa dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan
meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini
orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar,
yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya
tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak
melihatnya seperti orang buta", al-Ishahah fi Tamyiz
al-Shahabah, 1:10

4.Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut,
Dar al-Fikr, hal. 250.

5.Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari'at, Mathba'ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa
tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat
al-Qur'an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya,
Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi
al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat
melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-'Ammah fi al-Fiqh
al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.

6.Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa
Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama,
al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata,
"Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas
'ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah.
Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan
kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan
ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana
dapat dibayangkan adanya 'ishmah, padahal mereka boleh
ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma'shum ikhtilaf?
Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya
bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan
Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya
dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan --dalam masalah
ijtihad-- agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya
masing-masing."

7.Taqdimah al-Ma'rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil,
Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai 'Udul-nya sahabat,
Ibn Hajar berkata, "Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa
sahabat seluruhnya 'udul, tak ada yang menentang hal ini
kecuali orang-orang bid'ah yang menyirnpang" (Al-Ishabah
1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang
'udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga).
Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma'rifat
al-Shahabah, 1:3, menulis, "Sahabat sama seperti perawi
hadits yang lain kecuali satu hal --pada mereka tidak
berlaku jarh dan ta'dil, sebab mereka semna 'udul, tidak
dikenai celaan." Begitu "sucinya" para sahabat itu
sehingga Abu Zar'ah menulis, "Siapa yang mengkritik
salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw,
ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis)." Lihat
Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam
sesudah Bai'at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh
disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, "Seluruh
sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman,
petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak
seorangpun masuk neraka." (Saya kutip lagi dari Muhammad
'Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo,
Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).

8.Muhammad Ibrahim Jannati, "Ra'y Gera'i Dar Ijtihad",
dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara'i, "Ijtihad and the
Practise of Ra'y", dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408;
hal. 57-58.

9.Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan
al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim,
1:349.

10.Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad
al-Ma'ad 1:177-225.

11.Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam
Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.

12.Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan
al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur
1:279.

13.Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam
al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan
al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari
12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9.
Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak
lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.

14.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.

15.Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih
fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
tanpa tahun, hal. 32-33.

16.Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur
6:74; Kanz al-Ummal 1:185.

17.Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib
al-Islamiyah", dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah,
Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.

18.Ibn Qayyim al-Jawziyyah, "I'lam al-Muqi'in, Mesir:
Mathba'ah Sa'adah, tt 1:63-64.

19.Al-Syatibi, "Al-'Itisham. Saya kutip lagi dari Abu
Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.

20.Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan
mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak
ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib),
Al-Ahzab 33 (tentang 'ishmah ahli bait), Al-Syura 23
(tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara
hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits
Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu
berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya
Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna
dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab
Fadhail al-Shahabat", Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi
2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain
3:109, Kanz al-'Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits:
"Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi
umatku" (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya
di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil
oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini
al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab
Ahl al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.

21.Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.

22.Shaih al-Bukhari, "Kitab al-'Ilam", 1:22. Lihat juga
Shahih Bukhari, "Kitab al-Jihad", dan Kitab al-Jizyah",
Shahih Muslim Bab "Tark al-Wasyiyyah" Musnad Ahmad,
hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa'ad 2:244, Tarikh
Thabari 3:193.

23.Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-'Ummal, 1:174.

24.Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.

25.Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.

26.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.

27.Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah 'Umar

28.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.

29.Lihat "Kontroversi sekitar Ijtihad 'Umar r.a", dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.

30.Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa
al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat
pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297;
Al-Durr al-Mantsur 3:252.

31.Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319;
Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.

32.Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir
al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur'an dari Al-Jahshash 3:60
62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.

33.Al-Muwaththa', 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam
al-Qur'an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla' 9:622;
Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117;
Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir
al-Syawkani 1:418.

34.Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa'
1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina
pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat
di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat.
Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian
meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154,
Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan
al-Baihaqi 3:126.

36.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68,
Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan
al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi
1:429, 3:192, 205.

37.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349;
Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan
al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir
al-Wushul 1:282.

37.Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.

38.Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri
dalam al-Anshab 5:26.

39.Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani
dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar.
"Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat
mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang
mendengarkan khutbahnya."

40.Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung:
Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan
(1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara
konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya
berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang
menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau
terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali;
(2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan
aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut
sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim
sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini
adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
menjadi ijma' berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah
nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat
bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau
sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
secara bersama adalah identik dengan ijma'.

41.Syibli Nu'mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka,
1404, hal. 532.

42.Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar
Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.

43.Shahih Bukhari, "Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah," Kitab
Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450;
2:401.

44.Shahih Bukhari, "Bab I: Al-Hawah", Kitab Al-Riqaq.
Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, "Bab
Itsbat", Kitab Al-Fadhail.

45.Syarh Al-Muwaththa', 1:221; Tanwir Al-Hawalik,
1:93-94.

46.Al-Imam Al-Syafi'i, Al-Umm, 1:208.

47.Jami' Bayan Al-'Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha
Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.

48.Jami'Bayan Al-' Ilm, 2:244.

49.Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi
2:68; Kanz al-'Ummal, 8:143.

50.Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.

51.Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al
Thabari, 1:79.

52.Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud 'ala al-A'rdh, Dar Al
Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan,
berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah
bahwa disamping Rasulullah saw., sahabat-sahabat seperti
Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud,
Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain
di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua
hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim
dari Khabab bin Al-Arat, "Kami mengeluoh kepada
Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga
tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi,
Nabi saw. tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas
tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini,
dalam Al-Nihayah, berkata, "Para fuqaha menyebut
peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para
sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika
akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi
mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan
apa yang mereka alami, Nabi saw. mengizinkan mereka
sujud di atas pakaian mereka itu.

53.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal.
257.

54.Shahih Al-Bukhari, 3:124, "Bab Walladzi Qala li
Walidaihi", Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga
biografi Al-Haban bin Al-'Ash pada Al-'Isti'ab, Usud
Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh
Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin
Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.

55.Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah
wa Al-Nihayah, 3:40.

56.Ibn Katsir, ibid., 7:214

57.Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.

58.Shahih Muslim, bab "Man La Ha'arahun Naby", Kitab
Al-Birr wa Al-Shilah.

59.Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya' Al-Turats
Al-'Arabiy, juz I.

--------------
Jalaluddin Rahmat, dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah". Oleh : Buddy Munawar Rahman