Selasa, 16 September 2008

Matinya NU Moderat

Setelah Muktamar Nahdlatul Ulama (NU) ke-30 tahun 2004 lalu, banyak kalangan menengarai bahwa bandul gerakan NU akan semakin bergeser ke kanan. Hal itu antara lain ditandai dengan semakin menguatnya arus konservatif dalam tubuh NU dan semakin jauhnya kader-kader kritis NU dari arus struktur NU. Ketika mendapat kritikan itu, Hasyim Muzadi (HM), Ketua Umum PB NU, menjawab secara diplomatis: bukan NU bergeser ke kanan, tapi karena selama ini terlalu lama berada di kiri, sehingga bergeser ke tengah dianggap ke kanan.

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang saat ini terlihat lebih moderat.

Apakah ini bentuk keseimbangan baru yang dimunculkan HM di tubuh NU. Harus diakui, ketika HM menjadi Ketua Umum PB NU sejak 1999, pengaruh Gus Dur sangat kuat. Namun pelan-pelan dia mulai menggeser pengaruh Gus Dur di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU. HM cukup sukses melakukan ini. Bukan hanya menggeser orang-orang yang dianggap Gus Dur-ian, tapi juga meminggirkan anasir-anasir pemikiran Gus Dur. Sekarang, di tingkat pengurus cabang dan wilayah NU, pengaruh HM cukup kuat, banyak menggeser pengaruh Gus Dur. Hal ini antara lain bisa dilihat dari kuatnya dukungan pengurus cabang dan wilayah pada HM dalam Muktamar ke-30 lalu.

Setelah berhasil menggeser pengaruh Gus Dur, HM mulai berani beroposisi secara terbuka dengan Gus Dur. Dalam berbagai isu-isu penting, HM dan Gus Dur nyaris selalu berbeda pendapat. Bahkan, ada yang berkomentar, HM sudah sampai pada taraf “asal beda” dengan Gus Dur. Dalam konteks kebangsaan, mereka berdua memang masih dalam satu suara tentang finalnya NKRI dengan Pancasila sebagai dasar negara. Tidak ada keharusan mendirikan negara Islam di Indonesia. Namun, derivasi dari masalah kebangsaan ini masing-masing punya cara pandang sendiri.

Eksemplar terbaik untuk mengulas masalah ini adalah penyikapan atas tragedi Monas 1 Juni lalu. Dalam kasus ini Gus Dur dapat disebut sebagai tokoh terdepan dalam melawan anarkisme Front Pembela Islam (FPI). Bahkan Gus Dur berteriak kencang agar keberadaan organisasi ini ditinjau ulang. Gus Dur juga mengutuk keras aksi kekerasan di Monas yang juga membuat beberapa putra terbaik NU menjadi korban. Karena sikap Gus Dur ini, Rizieq Sihab, pemimpin FPI, mengeluarkan “lidah api”-nya dalam sebuah dialog di tv swasta dengan mengatakan “Gus Dur tidak tahu apa-apa karena dia buta mata dan buta hati” (3/6/08). Sebuah pernyataan yang jauh berbeda dengan pernyataan-pernyataan kontroversial yang diungkapkan seorang Gus Dur. Sekeras-kerasnya –ataupun nyelenehnya ungkapan Gus Dur tidak pernah lepas dari koridor intelektualisme, bukan hinaan fisik seperti layaknya keluar dari mulut orang yang tidak paham agama. Karena ucapan ini, kantong-kantong NU yang masih setia kepada Gus Dur bergerak mendesak agar FPI dibubarkan.

Karena itu, kalau boleh saya simplifikasi, penyikapan atas tragedi Monas bisa menjadi sedemikian massif, terutama di wilayah Jawa, setidaknya karena dua hal. Pertama, karena yang menjadi korban sebagian adalah aktivis-aktivis muda NU. Kedua, karena faktor Gus Dur, terutama ucapan Rizieq Sihab yang menyakitkan itu. Saya yakin, kalau tidak ada faktor ini, tidak akan ada gerakan di kantong-kantong NU melawan FPI.

Hal yang paling menarik di tengah situasi itu adalah sikap HM. Dalam konferensi pers beberapa hari setelah tragedi Monas, dia mengatakan agar korban tragedi Monas tidak dikait-kaitkan dengan warga NU. Dia juga minta agar warga NU tidak dijadikan umpan untuk berkonfrontasi langsung melawan FPI. Alih-alih memberi simpati kepada warga NU yang menjadi korban dan menghujat FPI, HM dalam pernyataan-pernyataannya justru lebih condong memberi dukungan kepada FPI. Pernyataan demikian berulang kali dia ucapkan dalam berbagai kesempatan.

Bahkan, dalam sebuah situs internet diberitakan PB NU mengirim tim yang tergabung dalam Lembaga Penyuluhan dan Bantuan Hukum (LPBH) NU untuk membela Rizieq Sihab. “LPBH-NU ikut sebagai bagian tim hukum yang sudah ada untuk mendampingi dan membela Habib dalam perkaranya,” kata Ketua LPBH NU Sholeh Amin saat menjenguk Rizieq di Rutan Narkoba, Polda Metro Jaya (http://www.detik.com 9/6/2008). Sejauh ini belum ada bantahan atas berita tersebut, meskipun ada informasi bahwa HM meminta Sholeh Amin agar menjadi pembela Rizieq atas nama pribadi, bukan atas nama NU.

Akibat sikap HM ini, sikap masyarakat NU yang sudah geram terhadap FPI akibat tindakan-tindakan anarkisnya pun mulai terbelah. Sebagian besar pengurus struktural NU mulai termakan oleh ucapan HM. Tragedi Monas dianggap sebagai skenario kelompok sosialis untuk membenturkan NU dengan FPI. Karena mendapat angin dari HM, FPI di Jatim yang sudah tertekan merasa mendapat angin. Bahkan, FPI Jember yang sudah membubarkan diri dihidupkan lagi dan mendapat support dari seorang tokoh NU Jakarta yang sengaja datang ke Jember. Demikian juga dengan FPI Madura yang justru semakin berani “menantang” karena angin HM ini.

Sikap ini sungguh sulit diterima akal sehat. Saya tidak melihat alasan apapun dari sikap HM ini kecuali hanya sekadar ingin berbeda dengan Gus Dur. Anak-anak muda NU yang menjadi korban tragedi Monas dikenal sebagai aktivis yang dekat dengan pemikiran Gus Dur. Harus diakui juga, gerakan massif di berbagai daerah adalah kantong-kantong pendukung Gus Dur. Sebelum simpati terhadap Gus Dur menggelinding semakin besar, tidak ada pilihan lain bagi HM kecuali harus menghambatnya. Daripada sejalan dengan Gus Dur, HM lebih memilih bersimpati dan “mendukung” FPI.

NU Periode HM ; Periode Matinya NU Moderat ?

Menurut saya, kasus ini merupakan degradasi sikap ke-NU-an yang luar biasa atas kelompok yang gemar mengumbar kekerasan. HM telah mendevaluasi kehormatan NU sebagai organisasi sosial keagamaan yang dikenal moderat. Klaim Islam moderat dan rahmatan lil alamin yang dikampanyekan HM di banyak forum nasional maupun internasional seolah runtuh karena sikapnya ini. Posisinya sebagai Presiden World Conference on Religion and Peace (WCRP) sama sekali tidak tercermin.

Bukan hanya soal tragedi Monas, dalam isu-isu lain seperti soal Ahmadiyah, RUU Anti Pornografi dan lainnya, NU di bawah HM juga seolah menari dalam irama yang ditabuh “Islam kanan” yang dikomando MUI. NU menjadi sering dijadikan legitimasi gerakan kelompok-kelompok fundamentalis. Tidak bisa diingkari, dalam tragedi Monas ini, PB NU tampak setali tiga uang dengan kelompok fundamentalis Islam. Justru Muhammadiyah yang terlihat lebih moderat.

Situasi demikian tidak bisa dibiarkan. Harus dipikirkan bagaimana menjaga kesimbangan NU, bukan hanya dalam pemikiran, tapi juga dalam gerakan praksis-nya. Dalam konteks ini ada beberapa hal yang bisa dilakukan. Pertama, NU harus meneguhkan kembali sikapnya sebagai Islam moderat dan antikekerasan. Bukan hanya dalam retorika, tapi harus dibuktikan secara konkrit.

Kedua, pemimpin NU harus menjauhkan diri dari sikap “asal beda” dengan orang yang dianggap sebagai lawannya. Sikap asal beda ini sebenarnya menunjukkan bagaimana kualitas kepemimpinan seseorang, dan kita sulit mempercayai seorang pemimpin yang mempunyai karakter demikian. Ketiga, sudah saatnya, kader-kader NU di berbagai lapisan mulai memikirkan mencari figur pemimpin yang berani “pasang badan” untuk menjaga kehormatan NU, juga kebhinekaan Indonesia. Seorang pemimpin seperti sosok seorang Gus Dur.


Senin, 25 Agustus 2008

Ironi Puasa

Bulan Ramadlan tinggal beberapa hari lagi akan kita jalani. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang menyambut kedatangannya dengan riang gembira, karena orang-orang yang termasuk golongan ini adalah salah satu dari golongan yang akan merasakan manisnya surga di akhirat kelak. Amin. Sejenak kita bertafakur tentang puasa-puasa yang telah kita lalui pada tahun-tahun sebelumnya, berupaya mencari kekurangan puasa kita sambil mengupayakan apa kelebihan yang perlu kita pertahankan.

Secara etimologi puasa/shiyam adalah "imsak" (menhaan). Dalam terminologi fiqih, puasa berarti menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, mulai dari fajar shubuh hingga terbenam fajar (maghrib) Dalam terminologi kultural, puasa sering dimaknakan sebagai satu bentuk aktifitas yang berupaya mengekang hawa nafsu/keinginan fisik dan duniawiyah yang berlebihan. Karena inilah, dalam kontek kultural ini puasa sebenarnya sudah dikenal sejak masa sebelum Islam dan bahkan sudah menjadi bagian dari budaya-budaya spritual ajaran-ajaran non muslim.

Secara umum ibadah puasa memiliki makna sebagai bentuk ibadah yang mengharapkan subyek pelakunya mampu menahan keinginan dan nafsu jasmani duniawiyah nya secara berlebihan. Bentuk penahanan paling mendasar adalah dari kebutuhan dasar jasmani/badaniyah yaitu makan, minum, dan seks. Namun sekali lagi, ini adalah hal yang paling mendasar, dengan dasar tujuan -sekedar- memnuhi standar syar'iyah fiqhiah.
Harus di ingat, bahwa setiap amal ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT selalu memiliki tujuan-tujuan syar'iyyah (maqasid al-Syar'iyah) tertentu, dan standar kompetensi dan ketuntasan ibadah. Seperti halnya orang yang melakukan Sholat, bisa jadi dalam standar fiqhiyah ia telah tuntas, namun dalam standar kompetensi syar'iyah yang diharapkan ia belum mencapai ketuntasan. Karena sholatnya belum mampu membuat ia "tanha 'anil fahsya wal munkar". Istilah kerennya ; Sholat ok, maksiat jalan terus !.
Singkatnya, kalau puasa memiliki standar ketuntasan ibadah agar pelakunya mampu memiliki "ketahanan" untuk mengekang dari mengumbar nafsu serta sikap konsumerisme, maka orang yang hanya mampu menahan kebutuhan makan, minum dan seks semata belum bisa dikatakan telah tuntas dalam syariat puasa ini.

Pada sisi inilah kita bisa menemukan "Ironi Puasa" di sekitar kita. Ada kebohongan masal yang bisa kita saksikan setiap datang bulan Ramadlan. Meida dengan acara-acara relgiusnya, artis-artis yang berubah 180 derajat menjadi begitu islami, dan yang lebih parah adalah meningkat tajamnya sikap hidup konsumtif umat Islam. Melonjaknya harga kebutuhan pokok setiap menjelang Ramadlan menjadi bukti yang paling sederhana, bahwa sikap konsumtif kita semakin melonjak ketika datang bulan Ramadlan. Karena harga kebutuhan biasanya dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan konsumen.

Satu sisi, puasa mengharapkan pelakunya untuk bisa menahan diri, bersahaja, dan mengekang agar tidak mengumbar keinginannya terhadap kebutuhan-kebutuhan duniawi, namun di sisi lain, kebutuhan belanja kita biasanya semakin meningkat dengan datangnya bulan Ramadlan. Bisa dikatakan, hal ini bukan saja belum memiliki ketuntasan syariat puasa, tapi lebih jauh tidak sesuai dengan standar kompetensi syariat puasa itu sendiri.

Melihat kondisi ini, kalau kita memakai istilah Al-Ghazali, maka puasa kita bukan saja belum mencapai tingkatan khowas -apalagi khowasul khowas, bahkan untuk dikatakan puasa awam saja sebenarnya belum layak. karena bukan saja kita baru bisa memenuhi standar fiqhiyah paling dasar dalam puasa, tapi justeru yang lebih parah dalam pemenuhan standar inipun kita memiliki banyak ironi.

Wallahu a'lam

Fiqh dari Khulafaurrasyidin hingga Mazhab Liberalisme (Bag.3)

"Lingkaran  yang  kedua,  merupakan  madzhab  yang menggunakan
rasio agak lebih intens daripada kelompok pertama tadi. Mazhab
ini disebut mazhab Hanbali yang dipelopori Imam Ahmad ibn
Hanbal. Doktrin mereka menyatakan bahwa hadits dha'if harus
lebih diprioritaskan daripada akal. Madzhab ini banyak
dilaksanakan di Saudi Arabia.

"Lingkaran ketiga, kelompok yang disebut madzhab Maliki yang
dipelopori Imam Malik. Doktrinnya menyatakan bahwa rasio harus
diperhatikan guna pertimbangan kemaslahatan. Kaidah mereka
adalah al-Mashalih al-Mursalah.

"Lingkaran keempat adalah madzhab Syafi'i yang dipelopori Imam
Syafi'i. Dalam proses pengambilan hukum, madzhab ini lebih
banyak menggunakan analogi atau qiyas.

"Sedangkan kelompok kelima, terakhir, adalah mazhab yang
frekuensi penggunaan akalnya lebih banyak. Akal lebih
dipentingkan dalam proses pengambilan hukum daripada hadits.
Madzhab ini dipelopori oleh Imam Hanafi."

Untuk memberikan contoh madzhab yang paling "Umari", marilah
kita melihat madzhab Hanafi. Ketika Raqabah ibn Musqilah
ditanya tentang Abu Hanifah, ia menjawab: "Abu Hanifah adalah
orang paling pandai tentang apa yang sudah terjadi." Yang
dimaksud dengan apa yang sudah terjadi adalah hadits-hadits
Nabi. Apa yang belum terjadi adalah ketetapan hukum
berdasarkan qiyas.

Abu Hanifah memang hanya sedikit meriwayatkan hadits. Kata Ibn
Khaldun, hal itu dikarenakan Abu Hanifah sangat memperketat
syarat-syarat penerimaan hadits. Kata Dr. Ahmad Amin,
kurangnya hadits pada Abu Hanifah menunjukkan bahwa ia tidak
merasa puas dengan menyampaikan hadits saja; ia menguji hadits
dengan pertimbangan psikologis dan konteks sosial. Abu Hanifah
pernah dilaporkan berkata: "Seandainya Rasulullah berjumpa
denganku, ia akan mengambil banyak pendapatku. Bukankah agama
itu ra'yu yang baik?" Barangkali ini penegasannya tentang
keharusan nash tunduk pada analisis rasional. Simaklah riwayat
yang diceritakan Dr. Ali Hasan Abd al-Qadir: "Musuh-musuh Abu
Hanifah menuduhnya tidak memberikan perhatian besar pada
hadits. Ia memprioritaskan ra'yu dalam mengeluarkan keputusan
fiqh. Ia menolak banyak hadits demi ra'yu. Abu Shalih al-Fura
menuturkan, "aku mendengar Yusuf ibn Asbath berkata, Abu
Hanifah menolak 400 atau lebih hadits Nabi saw. ... Kataku:
"Berikan sebagian contohnya." Katanya: "Rasulullah berkata,
kuda mendapat dua bagian, prajurit mendapat satu bagian. Kata
Abu Hanifah: "Aku tidak akan menjadikan bagian binatang lebih
banyak daripada bagian seorang Mukmin." Rasulullah melakukan
isy'ar (melukai punggung unta) sebelum menyembelih hewan
kurbannya. Kata Abu Hanifah: "Isy'ar adalah penganiayaan."
Nabi bersabda: "Dua jual beli dengan khiyar sebelum keduanya
berpisah." Kata Abu Hanifah: "Bila jual beli wajib, tidak ada
khiyar." Nabi mengundi istri-istrinya kalau mau bepergian.
Kata Abu Hanifah: "Undian itu judi." Kata mereka: "Pada zaman
Abu Hanifah, ada empat orang sahabat. Abu Hanifah tidak
tertarik untuk menemui mereka." Ibn Abu Syaibah dalam bukunya,
pada bab khusus, menyebut hadist-hadist yang ditolak Abu
Hanifah dan mencapai 150 hadits.

Salah satu murid terkemuka dari Abu Hanifah adalah Abu Yusuf.
Ia memegang jabatan qadhi pada masa-masa kekhalifahan
'Abbasiyyah, antara lain pada masa al-Mahdi, al-Hadi dan
al-Rasyid. Lewat tangan-tangan kekuasaan, madzhab Hanafi
tersebar ke seluruh kekuasaan Islam. Daerah-daerah madzhab
Hanafi antara lain Mesir dan Pakistan. Di Mesir, Ibrahim Hosen
mereguk ilmunya. Di Pakistan, Fazlur Rahman dilahirkan. Tidak
heran kalau Fazlur Rahman sering --bahkan paling sering--
menyebut Abu Yusuf, ketika merumuskan metodologi ijtihadnya.
Ia memuji Abu Yusuf karena memberikan penafsiran yang
situasional kepada hadits yang "berdiri sendiri", menerima
hadits dengan sikap kritis, dan menetapkan "sunnah yang
dikenal baik" sebagai kriteria terhadap "semangat dan sikap
kolektif" dari hadits.

Kita tidak akan membicarakan pengaruh Abu Yusuf terhadap
metodologi Rahman (dan juga Hosen). Uraian di atas diberikan
untuk menjelaskan dasar-dasar pemikiran Rahman pada
perkembangan pemikiran Islam klasik. Cukuplah dikatakan bahwa
dengan mempelajari fiqh-fiqh klasik, kita akan terkejut
menemukan bahwa klaim orisinalitas pembaruan Rahman --yang
berulangkali disebut Taufik Adnan Amal dalam bukunya, Tafsir
Kontekstual-- hanya dapat diterima oleh orang yang tidak
mempunyai dasar dalam pemikiran Islam tradisional. Rahman,
bagi madzhab Hanafi, tidak berbeda dari Ibn Taimiyah bagi
madzhab Hanbali. (Untuk menggembirakan kita semua kedua-duanya
berhak disebut Syaikh al-Islam). Karena itu, kritik terhadap
Rahman juga dapat dilacak pada kritik fuqaha al-atsar terhadap
fuqaha al-ra'y; sebagaimana kritik Rahman terhadap hadits
(sunnah) dapat ditelusuri pada kritik fuqaha al-ra'y terhadap
fuqaha al-atsar.

Kita akan membicarakan kritik pembaruan Rahman di akhir
tulisan ini. Sebelum sampai ke situ, ada baiknya kita juga
meninjau perkembangan metodologi penafsiran al-Qur'an, sebagai
latar belakang teoretis dalam memahami penafsiran al-Qur'an
yang dirumuskan oleh Rahman.

TAFSIR BI 'L-RIWAYAT DAN TAFSIR BI 'L-DIRAYAT

Fiqh al-atsar mempunyai tandingan dalam tafsir bi al-riwayat,
sebagaimana fiqh al-ra'y mempunyai persamaannya dalam tafsir
bi 'l-dirayat. Tafsir --menurut Muhammad Ali al-Shabuni--
adalah ilmu untuk memahami Kitab Allah yang diturunkan kepada
Nabi-Nya, Muhammad saw, dan menjelaskan maknanya serta
menggali hukum-hukum dari hikmahnya. Bila tafsir itu diperoleh
dengan menukil penjelasan dari al-Qur'an lagi, al-Hadits,
pendapat sahabat dan tabi'in, maka tafsir itu disebut tafsir
bi 'l-riwayat atau tafsir bi 'l-ma'tsur. Bila tafsir itu
berpijak pada ijtihad mufasir --dengan mengerahkan kemampuan
nalar dan/atau intuisinya-- maka kita menyebutnya tafsir bi
al-dirayah atau tafsir bi 'l-ra'y.

Di antara kedua jenis tafsir itu, para mufasir menganggap
taisir bi 'l-riwayat adalah yang paling dapat dipercaya. Di
antara jenis-jenis tafsir bi 'l-riwayat, tafsir al-Qur'an
dengan al-Qur'an adalah yang paling baik. Sesudah itu, baru
tafsir al-Qur'an dengan al-Sunnah (misalnya, lewat asbab
al-nuzul). Rupanya, dari sinilah Rahman mengajak kita untuk
menafsirkan al-Qur'an dengan melihat al-Qur'an secara
keseluruhan dan dengan melihat "sebab-sebab pewahyuan".
Anehnya, tafsir bi 'l-riwayat seperti ini diambil Rahman
ketika berbicara tentang hukum Islam dan ditinggalkan Rahman
ketika membahas aspek teologis dan eskatologis ajaran Islam.
Untuk yang terakhir ini, Rahman hampir sepenuhnya berpijak
pada tafsir bi 'l-dirayat. Untuk mengapresiasi metode
penafsiran Rahman, kemusykilan kedua penafsiran ini akan kita
lihat.

Pertama kali, kita akan melihat problematik al-Qur'an yufassir
ba'dhuhu bad'dhan, yang menjadi pijakan Rahman. Selanjutnya,
kita akan melacak kemusykilan asbab al-nuzul, yang --menurut
Rahman-- dapat mengungkapkan latar belakang situasional,
membedakan ketetapan legal dari sasaran dan tujuan al-Qur'an,
serta menggali prinsip-prinsip universal ajaran Islam.
Akhirnya, kita akan menelusuri akar-akar penafsiran Rahman
pada tafsir bi 'l-dirayat.

Tafsir al-Qur'an dengan al-Qur'an mempunyai basis dalam
petunjuk-petunjuk al-Qur'an sendiri (QS 11:1; 7:52; 2:185) dan
al-Sunnah. Nabi saw. menafsirkan kata zhulm dalam, wa lam
yalbisu imanabum bi zhulm (QS 6:82) sebagai syirk berdasarkan
ayat inn al-syirk la-zhulm 'azhim (QS 31:13). Tradisi Nabi ini
dilanjutkan oleh para sahabat. Ibn Abbas menafsirkan dua
kematian dan dua kehidupan dalam surah Ghafir ayat 11 dengan
merujuk kepada surah al-Baqarah ayat 28. Semula manusia mati,
ketika berada dalam tulang sulbi orang tua mereka. Kemudian
Allah menghidupkan mereka di dunia. Setelah itu Allah
mematikan mereka dan menghidupkan mereka kembali pada Hari
Kiamat. Ali ibn Abi Thalib menyimpulkan bahwa waktu minimal
kehamilan adalah enam bulan, dari penafsiran QS 31:14 dengan
QS 46:15.

Banyak kitab tafsir mengaku menggunakan metoda ini. Abd
al-Karim al-Khathib al-Mishri bahkan menamai kitab tafsirnya
al-Tafsir al-Qur'ani li al-Qur'an. Bila kita teliti
kitab-kitab itu, kita akan menemukan prosedur penafsiran
Qur'ani yang bermacam-macam. Paling tidak, kita dapat
membaginya ke dalam kelompok: tafsir Qur'ani yang murattab
(berdasarkan urutan ayat dari al-Fatihah sampai al-Nas) dan
tafsir Qur'ani maudhu'i (berdasarkan tema-tema atau
topik-topik tertentu)

Untuk mengetahui prosedur penafsiran qurani yang murattab,
kita uraikan jalan yang ditempuh oleh al-Thabathaba'i, dalam
Tafsir al-Mizan.

Pertama, "maka ayat-ayat al-Qur'an dilihat dari konteks
ayat-ayat itu" (siyaq al-ayat). Yang dimaksud dengan konteks
adalah "semua yang mengungkapkan ( makna) lafadz yang ingin
kita pahami dari petunjuk-petunjuk yang lain, baik yang
bersifat lafdziyah, seperti kata-kata yang membentuk kalimat
tunggal yang berkaitan dengan lafadz yang ingin kita pahami,
atau bersifat haliyah, seperti kasus-kasus atau fenomena yang
menjadi petunjuk bagi topik yang dibicarakan." Misalnya, ayat
"Dan Allah menciptakan kamu serta apa yang kamu perbuat" (QS
37:96). Tanpa melihat konteks ayat, kita akan terjatuh ke
dalam paham Jabbariyah. Ayat ini terdapat dalam kisah ucapan
Ibrahim kepada para penyembah berhala. Apakah kamu menyembah
barang yang kamu pahat, (QS 37:95), padahal Allah menciptakan
kamu serta apa yang kamu perbuat (QS 37:96). Jadi jelas. Bahwa
"apa yang kamu perbuat" adalah berhala-berhala itu.

Kedua, "ayat-ayat lain dipergunakan untuk memahami ayat-ayat
yang mujmal atau sama, mempermudah makna yang sulit, atau
menjelaskan istilah-istilah yang dipergunakan dalam
al-Qur'an." Yang dimaksud dengan "khalifah" dalam surah
al-Baqarah ayat 30 tidak terbatas pada Adam, tetapi meliputi
anak-cucunya, dengan melihat surah al-A'raf ayat 69, Yunus
ayat 14, dan al-Naml ayat 62. Yang dimaksud dengan kata
al-mustaqar dalam surah al-Qiyamah ayat 12 adalah "tempat
kembali" dengan melihat surah al-Insyiqaq ayat 6, al-'Alaq
ayat 8, al-Najm ayat 42, dan al-Qhashash ayat 88.

Tafsir maudhu'i baru muncul belakangan. Perbedaan antara
tafsir maudhu'i dengan tafsir murattab mirip dengan perbedaan
antara thesaurus dengan dictionary. Tafsir maudhu'i dimulai
dari topik, kemudian dikumpulkan ayat-ayat yang berkenaan
dengan topik tersebut. Pengantar pada tafsir ini --sepanjang
pengetahuan saya dari kalangan kaum Muslim-- ditulis oleh
Muhammad al-Baqir al-Abthahi. 26. Ja'far Subhani menulis
serial mafahim al-Qur'an (sampai sekarang sudah selesai lima
jilid), dan menjelaskan metodenya sebagai berikut: "... (Kita)
kumpulkan setiap ayat yang berkaitan dengan pengertian
tertentu dan topik tertentu, dalam satu tempat. Ayat-ayat itu
kemudian disusun dan dirangkai begitu rupa sehingga dihasilkan
kesatuan pandangan yang lengkap dan kesatuan pemikiran yang
menghimpun dan meliputi seluruh ayat tersebut. Kadang-kadang
ayat-ayat yang berkaitan dengan topik tertentu tersebar pada
surah-surah yang berbeda atau pada tempat-tempat yang berbeda
dalam surah yang sama. Al-Qur'an menunjukkan dalam setiap
surah atau setiap tempat, salah satu aspek dari topik tertentu
itu.

"... Kita memperoleh manfaat lain dari pengumpulan ayat-ayat
yang berkaitan dengan topik tertentu dengan tetap berpijak
pada pandangan Qur'ani yang utuh tentang topik tersebut.
Seringkali kita mengalami kesulitan untuk memahami ayat atau
mengetahui tujuannya karena jarak kita yang jauh dari zaman
wahyu, dan karena kita tidak mengetahui konteks turunnya ayat
itu atau petunjuk-petunjuk situasional yang berlaku pada
masyarakat Islam saat itu. Mengumpulkan ayat-ayat dalam
hubungannya satu sama lain, dapat membantu kita dalam
menghilangkan kekaburan dan ketidakjelasan."

POKOK-POKOK PEMIKIRAN MADZHAB LIBERALISME

Pendapat Prof. Ibrahim Hosen, Ketua Komisi Fatwa Majelis Ulama
Indonesia ini pernah mengajukan saran-saran bagi pembaruan
pemikiran keagamaan di Indonesia. Ia mengusulkan enam hal.
Pertama, kita harus meninggalkan pemahaman harfiah terhadap
al-Qur'an dan menggantinya dengan pemahaman berdasarkan
semangat dan jiwa al-Qur'an. Kedua, kita harus mengambil
sunnah Rasul dari segi jiwanya untuk tasyri al-ahkam dan
memberikan keleluasaan sepenuhnya untuk mengembangkan teknik
dan pelaksanaan masalah-masalah keduniawian. Ketiga, kita
harus mengganti pendekatan ta'abbudi terhadap nash-nash dengan
pendekatan ta'aqquli. Keempat, kita harus melepaskan diri dari
masalikul'illah gaya lama dan mengembangkan perumusan 'illat
hukum yang baru. Kelima, kita harus menggeser perhatian dari
masalah pidana yang ditetapkan oleh nash kepada tujuan
pemidanaan. Terakhir, kita harus mendukung hak pemerintah
untuk mentakhshish umumnya nash dan membatasi muthlaqnya.

TAFSIR KONTEKSTUAL FAZLUR RAHMAN

Rahman dalam Tema Pokok al-Qur'an memperinci metodologi
penafsiran al-Qur'an dalam tiga langkah. Pertama, pendekatan
historis untuk menemukan makna teks; kedua, pembedaan antara
ketetapan legal dengan sasaran dan tujuan al-Qur'an; ketiga,
pemahaman sasaran al-Qur'an dengan memperhatikan latar
belakang sosiologisnya. Dalam perkembangan pemikirannya yang
kemudian, ketiga langkah ini merupakan langkah pertama dalam
perumusan prinsip-prinsip hukum Islam; yaitu, bergerak dari
yang khusus kepada yang umum. Dari ketiga langkah tersebut di
atas, kita harus sanggup menyimpulkan prinsip-prinsip umum
ajaran al-Qur'an. Nanti, prinsip-prinsip umum ini kita
aplikasikan untuk memecahkan masalah-masalah konkret dewasa
ini. Secara operasional, Amal dan Pangabean memperincinya
dalam Tafsir Kontekstual al-Qur'an.

KRITIK PADA FIQH IBRAHIM HOSEN

Esensi dari pemikiran Hosen ialah jiwa atau semangat dari
al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak perlu terikat pada teks-teks
lahir al-Qur'an dan Sunnah. Kita tidak boleh menerima
teks-teks itu begitu saja (secara ta'abbudi). Kita harus
menggunakan akal (ta'aqquli). Pandangan ini menimbulkan
beberapa kemusykilan. Pertama, ketika kita meninggalkan makna
lahir teks dan mencari jiwa atau semangat teks, kita
meninggalkan makna obyektif yang sudah jelas dan memasuki
makna subyektif yang tidak jelas kriterianya. Makna lahiriah
dari teks, "Dan hendaklah mereka menutupkan kerudungnya sampai
menutupi dada mereka" (QS. al-Nur: 31) jelas menunjukkan
perintah memakai kerudung sampai menutup dada. Sekarang kita
abaikan makna lahiriah ini. Kita harus mencari semangat atau
ruh perintah ini. Kata sebagian orang, yang dimaksud ialah
hendaknya wanita memelihara kesucian dirinya dengan menutup
diri dari perbuatan-perbuatan yang tercela. Semangat ajaran
Islam itu kesucian diri, bukan menutupkan kerudung. Kata
"menutupkan kerudung" harus dipahami sebagai kata kiasan. Kata
sebagian orang, dahulu wanita-wanita Arab itu senang membuka
dadanya untuk merangsang kaum pria. Perintah ini harus
dipahami sebagai perintah untuk menahan diri dari
perbuatan-perbuatan yang mendorong orang ke arah pemuasaan
nafsu.

Kita masih dapat mengumpulkan pendapat-pendapat lain. Tetapi
yang menjadi persoalan ialah apakah berpegang pada semangat
al-Qur'an atau al-Sunnah itu berarti tidak usah setia lagi
pada makna lahiriahnya. Apakah perempuan tidak perlu memakai
kerudung bila ia sudah pandai menjaga diri tidak melakukan
tindakan yang "merangsang"? Kita memerlukan kriteria kapan
teks harus ditinggalkan demi makna yang lebih dalam dan kapan
makna yang lebih dalam itu harus diperlakukan sebagai
pengayaan makna lahiriah dan bukan pengabaiannya. Tanpa
kriteria ini kaum liberalis dapat membawa kita ke arah tadhyi
(pengabaian nash) dan tahrif (penyimpangan makna). Kita tidak
perlu mengeluarkan zakat bila pemerintah sudah melakukan
kebijakan pemerataan pendapatan dan memberikan santunan pada
fakir miskin. Bukan semangat dari ajaran zakat ialah
pemerataan pendapatan dan pengurangan kemiskinan? Ketika para
sahabat bersiap diri menghadapi perang di bulan Ramadlan,
Rasulullah menyuruh mereka berbuka. Apa semangat dari larangan
ini? Umat Islam sedang menghadapi tugas yang berat. Mereka
memerlukan tenaga dan kekuatan. Dalam situasi seperti itu
puasa boleh ditinggalkan. Sekarang, ketika kita memerlukan
tenaga untuk membangun, ketika kita harus meninggalkan
produktivitas, apakah kita juga harus meninggalkan puasa.

Kedua, berdasarkan pada 'illat baru, hukum-hukum syari'at
dapat berubah. Misal, dengan mengganti 'illat qashar pada
masyaqqah (kepayahan), qashar tidak lagi berlaku dalam
perjalanan tetapi dalam situasi apapun yang membuat orang
payah. Kita dapat menggashar shalat hanya karena kita baru
saja menyelenggarakan seminar yang menguras energi. Dengan
kebebasan mencari 'illat baru, kepastian hukum menjadi kabur.
Dengan cara ini terbukalah peluang untuk memasukkan
pikiran-pikiran non-islami ke dalam struktur syari'at Islam.

Ketiga, dengan menetapkan pemerintah sebagai pentakhshish dan
pengtaqyid nash, fiqh akan lebih berfungsi sebagai pemberi
justifikasi daripada jurisprudensi. Fiqh menjadi alat status
quo dan bukan sebagai korektor. Dalam istilah sebagian orang,
Islam akan dipandang hanya sebagai suplemen dan bukan sebagai
alternatif. Saya yakin, pemikiran seperti ini tidak memerlukan
usaha yang sungguh yang menjadi makna ijtihad, karena
justifikasi tidak memerlukan pemikiran yang mendalam.

KRITIK PADA FAZLUR RAHMAN

Metodologi Rahman --seperti telah disebutkan di atas--
bersandar sepenuhnya pada pendekatan historis untuk memperoleh
makna teks dari analisis latar sosiologis untuk memahami
sasaran al-Qur'an. Seperti dikatakan Subhani, karena jarak
kita yang jauh dari masa wahyu, sangat sukar kita memperoleh
gambaran utuh mengenai situasi sosial waktu itu. Dalam kalimat
Shadr, "terdapat jarak yang sangat jauh antara situasi sosial
ketika nash-nash itu dilahirkan dengan situasi sosial dewasa
ini, ketika nash-nash itu dijadikan rujukan."

Dari mana kita memperoleh informasi tentang situasi masa lalu
itu? Pertama, dari buku-buku tarikh, yang terbukti seringkali
ditulis oleh orang-orang yang tidak mempunyai pengetahuan
historiografi, tetapi mempunyai motif-motif yang patut
dicurigai. Apalagi, seperti kata sebagian orang, Tuhan dapat
membuat sejarah, tetapi hanya ahli sejarah yang dapat mengubah
sejarah. Karena itu, seperti yang dilukiskan oleh Taufik dalam
buku ini (h. 224), para orientalis --lewat "analisis
sosiologi" mereka-- dapat "membuktikan" pengaruh-pengaruh
Kristen dan Yahudi dalam al-Qur'an.

Kedua, kita merumuskan situasi di zaman Nabi itu dari asbab
al-nuzul, Rahman menyadari pentingnya asbab al-nuzul, tetapi
--pada saut yang sama-- "menilai bahwa literatur asbab
al-nuzul itu seringkali sangat bertentangan dengan
kacau-balau" (h. 158). Apalagi --sebagai pelanjut mazhab
Umari-- Rahman seringkali tidak ragu-ragu menanggap
hadist-hadist sebagai "fiksi yang dirumuskan belakangan saja",
bila bertentangan dengan apa yang telah dipandangnya sebagai
prinsip-prinsip umum ajaran al-Qur'an.

Lebih dari itu, sebagaimana yang telah banyak diketahui oleh
para peneliti ulum al-Qur'an, hadist-hadist tentang asbab
al-nuzul itu sangat sedikit. Di antara yang sedikit itu,
sebagian besar tidak tahan kritik --bahkan pada tingkat kritik
rawi atau sanad. Kemusykilan lainnya --yang terlalu panjang
bila diuraikan di sini-- berkenaan dengan hubungan antara
dengan asbab al-nuzul. Kadang-kadang ayat yang sama dijelaskan
dengan asbab al-nuzul yang berlainan (ta'addud al-asbab wa
al-nazil wahid). Kadang-kadang sebab yang sama berkaitan
dengan ayat-ayat yang berlainan (ta'addud al-nazil wa 'l-sabab
wahid).

Yang paling musykil --dan justru di sini Rahman berpijak--
adalah menetapkan apakah asbab al-nuzul itu hanya berkenaan
dengan peristiwa atau orang yang spesifik atau dapat
digeneralisasikan. Di kalangan para mufassirin terjadi
ikhtilaf apakah pelajaran (al-'ibrah) itu bersifat spesifik
(bi khushush al-sabab) atau umum (bi 'umum al-lafazh).
Terdapat juga kemusykilan dalam menentukan apakah dalam
situasi tertentu, sebab itu khusus dan efek legalnya juga
khusus, sedang dalam situasi lain sebabnya khusus tetapi efek
legalnya umum. Pernah orang datang kepada Rasulullah saw.
meminta agar beliau memohon ampun kepada Allah untuk orang
itu. Kemudian turun surah al-Nisa ayat 64. Apakah meminta doa
kepada Rasul itu hanya berlaku pada waktu Rasul masih hidup
atau juga berlaku sekarang? Bukankah dari ayat ini dapat
disimpulkan suatu prinsip umum: Bila berbuat dosa, datanglah
kepada Rasulullah --baik dalam keadaan hidup atau mati dan
mintakan agar beliau memohonkan ampunan buat kita? Kaum
Wahhabi berpendapat bahwa tawassul itu syirik dan karena itu
menganggap ayat ini hanya berlaku ketika Rasulullah masih
hidup. Mereka berpegang pada sebab yang khusus (bi khushush
al-sabab). Di sini tampak bahwa prinsip umum yang diyakini
oleh mufasir menentukan spesifikasi atau generalisasi asbab
al-nuzul. Setiap orang akan setuju bahwa konteks historis
sangat diperlukan untuk memahami al-Qur'an. Setiap orang juga
tahu bahwa asbab al-nuzul dan tarikh sangat penting.
Kedua-duanya sangat dihajatkan terutama sekali untuk
menetapkan tujuan atau sasaran yang ingin dicapai al-Qur'an
("ideal moral" al-Qur'an) atau sebab berlakunya hukum (ratio
legis). Yang ingin diketahui orang ialah bagaimana Rahman
menarik kesimpulan dari ayat-ayat yang tidak ada asbab
al-nuzul-nya; juga, bagaimana kita dapat memastikan situasi
sosial dari tarikh yang dapat kita akses.

Marilah kita ambil kasus khamr. Menurut Rahman --juga
kebanyakan ulama-- pengharaman khamr ini berlangsung secara
gradual. Khamr tidak diharamkan, ketika umat Islam belum
merupakan suatu masyarakat (society), tetapi hanya merupakan
komunitas informal. Setelah umat Islam terbentuk sebagai
masyarakat, khamr diharamkan. Apa prinsip umum yang dapat
ditarik dari latar sosiologis ini? Kata Rahman, "... ketika
manusia menjadi sebuah masyarakat (society), alkohol menjadi
membahayakan sehingga pengkonsumsiannya tidak diperkenankan."
Inilah ratio legis haramnya alkohol. Kita tidak tahu apakah
Rahman setuju, jika kita menyimpulkan --dari kesimpulannya--
bahwa pengkonsumsian alkohol secara individual dalam komunitas
informal tidak haram.

Rahman menunjukkan evolusi "sikap" al-Qur'an terhadap khamr.
Mula-mula khamr dipandang sebagai rahmat Tuhan (QS 16:66-69),
tetapi akhirnya dianggap sebagai perbuatan setan (QS 5:90-91).
Dengan menggunakan metodologi Rahman, penelitian saya tentang
pengharaman menghasilkan kesimpulan yang berbeda. Khamr sudah
diharamkan sejak awal kenabian, di Makkah. Tetapi karena
sahabat terus-menerus melakukan pelanggaran, maka pengharaman
ditegaskan berkali-kali --dari tahrim 'am sampai tahrim khash
bi tasydid al-baligh (pengharaman khusus yang sangat keras).
Dalam urutan pengharaman khamr, para ahli tafsir sepakat
menyebutkan surah al-Maidah ayat 90 sebagai ayat yang
terakhir. Menurut Thabathaba'i, "Tidak turun ayat al-Ma'idah,
kecuali untuk mempertegas (keharaman khamr) bagi menusia,
karena mereka menganggap enteng larangan ilahi ini."

Bahwa khamr telah diharamkan sejak awal bi'tsah dapat dilihat
pada peristiwa masuk-Islamnya A'sya ibn Qais. Ketika ia
bermaksud menyatakan Islamnya di depan Rasulullah saw., di
tengah jalan ia dicegat Abu Sufyan, Abu Jahal, dan orang-orang
Quraisy lainnya. "Hai Abu Bashir, Muhammad mengharamkan zina,"
kata mereka. Kata A'sya, "Aku tidak keberatan." "Abu Bashir,
Muhammad mengharamkan khamr," kata mereka lagi. Dan
seterusnya. Peristiwa ini terjadi di Makkah, ketika Abu Jahal
masih hidup. Abu Jahal terbunuh dalam perang Badar, jauh
sebelum turun surah al-Maidah. Dalam hadist yang dikeluarkan
oleh Thabrani dari Mu'adz ibn Jabal disebutkan bahwa di antara
yang pertama kali diharamkan pada permulaan kenabian adalah
minuman khamr.

Yang pertama mengharamkan khamr sebenarnya adalah surah
al-A'raf ayat 33, Katakan Tuhanku hanya mengharamkan kekejian
--baik yang tampak maupun yang tersembunyi-- dan dosa
(al-itsm) dan pembangkangan tak benar serta menyekutukan
Allah. Al-Itsm dalam ayat itu adalah khamr, sebagaimana
ditegaskan dalam surah al-Baqarah ayat 214, Mereka bertanya
kepadamu tentang khmr dan judi. Katakanlah di dalamnya ada
dosa besar (itsm kabir). Al-A'raf termasuk surah yang turun
dalam periode Makkiyah awal.

Tentang surah al-Baqarah ayat 219 --yang dianggap Rahman dan
kebanyakan mufassirin belum mengharamkan khamr-- al-Jashash
menjelaskan: "Ayat ini menetapkan haramnya khamr. Seandainya
tidak turun ayat lain yang mengharamkan, cukuplah ayat ini
saja. Karena Allah berfirman, di dalamnya dosa besar. Dosa
semuanya diharamkan dengan firman Allah, Tuhanku hanya
mengharamkan kekejian... dan dosa. (QS. al-A'raf:33). Allah
tidak saja menjelaskan bahwa dosa itu haram, tetapi (untuk
khamr) mempertegasnya dengan menyebutkan dosa besar, sebagai
penegas akan bahayanya. Adapun kata manfaat bagi manusia
tidaklah berarti menghalalkannya, karena yang dimaksud manfaat
itu manfaat dunia dan semua yang diharamkan ada manfaat
duniawi bagi pelanggarnya." Walhasil, pengharaman khamr
diulang-ulang --makin lama makin keras-- karena sahabat masih
tetap melakukannya. Karena itu surah al-Ma'idah 90 diakhiri
dengan kata Mengapa kalian belum berhenti juga. Menurut
riwayat, Umar menjawabnya, "Kami berhenti. Kami berhenti!"

Ini hanyalah sebuah contoh penggunaan metodologi Rahman dengan
hasil yang sama sekali berbeda dari konklusi Rahman. Karena
basis metodologi Rahman adalah tarikh dan asbab al-nuzul, yang
harus lebih dahulu dirumuskan adalah kritik keduanya (yang
kurang diperhatikan Rahman).

CATATAN

1.Riwayat ini dihimpun berdasarkan hadits Bukhari,
Muslim, al-Nasai, Ahmad Abu Dawud, Ibn Majah, Ibn Hajar
al-Asqalani. Lihat: Fath al-Bari, 1:443 al-Maktabah
al-Salafiyah.

2.Fath al-Bari, 1:457

3.Ibn Hajar mendefinisikan sahahat sebagai "orang yang
berjumpa dengan Nabi saw., beriman kepadanya dan
meninggal dalam Islam. Mereka yang termasuk jumpa ini
orang yang lama bergaul dengan Nabi atau yang sebentar,
yang berperang besertanya atau tidak, yang melihatnya
tetapi tidak menghadiri majelisnya, atau yang tidak
melihatnya seperti orang buta", al-Ishahah fi Tamyiz
al-Shahabah, 1:10

4.Abu Zahrah, Tarikh al-Madhahib al-Islamiyah, Beirut,
Dar al-Fikr, hal. 250.

5.Abu Ishaq al-Syatiby, Al-Muwafaqat fi Ushul
al-Syari'at, Mathba'ah al-Maktabah al-Tijariyah, tanpa
tahun, tanpa kota, 4:74. Al-Syatibi mengutip ayat-ayat
al-Qur'an dan hadits-hadits untuk menunjang pendapatnya,
Muhammad Taqiy al-hakim mengkritik kelemahan argumentasi
al-Syatibi secara rinci. Pembaca yang tertarik dapat
melihat M.T Al-Hakim Al-Ushul al-'Ammah fi al-Fiqh
al-Muqaran, Beirut, Dar al-Andalus, 1974:133-143.

6.Lihat al-Ghazali, al-Mustasyfa, Mesir: Mustafa
Muhammad, tanpa tahun, 1:135. Pada halaman yang sama,
al-Ghazali menolak semua pendapat itu dan berkata,
"Siapa saja yang mungkin salah atau lupa dan tidak tegas
'ishmahnya tidak boleh pembicaraannya menjadi hujjah.
Bagaimana mungkin berhujjah dengan ucapan mereka dengan
kemungkinan mereka salah. Bagaimana mungkin menetapkan
ishmah mereka tanpa hujjah yang mutawatir? Bagaimana
dapat dibayangkan adanya 'ishmah, padahal mereka boleh
ikhtilaf? Mungkinkah dua orang ma'shum ikhtilaf?
Bagaimana mungkin, padahal sahabat sepakat bolehnya
bertentangan dengan sahabat yang lain? Abu Bakar dan
Umar tidak mengingkari orang yang berbeda ijtihadnya
dengan mereka; bahkan mereka mewajibkan --dalam masalah
ijtihad-- agar setiap mujtahid mengikuti ijtihadnya
masing-masing."

7.Taqdimah al-Ma'rifah li Kitab al-Jarh wa al-Ta'dil,
Heiderabad, 1371, hal. 7-9. Mengenai 'Udul-nya sahabat,
Ibn Hajar berkata, "Sepakat semua Ahl Sunnah bahwa
sahabat seluruhnya 'udul, tak ada yang menentang hal ini
kecuali orang-orang bid'ah yang menyirnpang" (Al-Ishabah
1:9; Ibn Hajar mengemukakan dalil-dalil tentang
'udul-nya sahabat secara rinci dalam kitab ini juga).
Ibn Al-Atsir dalam Usud al-Ghabah fi Ma'rifat
al-Shahabah, 1:3, menulis, "Sahabat sama seperti perawi
hadits yang lain kecuali satu hal --pada mereka tidak
berlaku jarh dan ta'dil, sebab mereka semna 'udul, tidak
dikenai celaan." Begitu "sucinya" para sahabat itu
sehingga Abu Zar'ah menulis, "Siapa yang mengkritik
salah seorang di antara sahabat Rasulullah saw,
ketahuilah bahwa dia itu zindiq (atheis)." Lihat
Al-Ishabah 1:10. Kecuali untuk sahabat yang masuk Islam
sesudah Bai'at al-Ridwan (sambil mereka pun tidak boleh
disebut kecuali kebaikan), menurut Ibn Hazm, "Seluruh
sahabat itu mukmin yang saleh; semuanya mati dalam iman,
petunjuk, dan kebajikan; semuanya masuk surga; tidak
seorangpun masuk neraka." (Saya kutip lagi dari Muhammad
'Ajal al-Khatib, Al-Sunnah qabl al-Tadwin, Kairo,
Maktabah Wahdah, 1963, hal. 395-396).

8.Muhammad Ibrahim Jannati, "Ra'y Gera'i Dar Ijtihad",
dalam Kayhan-e Andisheh NO. 9. Diterjemahkan ke dalam
bahasa Inggris oleh Mahliqa Qara'i, "Ijtihad and the
Practise of Ra'y", dalam Al-Tawhid, vol. V NO. 2, 1408;
hal. 57-58.

9.Shahih al-Bukhari, 3:69; Sunan al-Nasa'i, 5:148; Sunan
al-Baihaqi, 4:352 dan 5:22; lihat juga Shahih Muslim,
1:349.

10.Kupasan tentang perdebatan ini; lihat Ibn Qayyim, Zad
al-Ma'ad 1:177-225.

11.Abu Dawud 2:242; Shahih Muslim 2:52; Al-Baihaqi dalam
Sunan al-Kubra 8:318; Kanz al-Ummal 3:102.

12.Shahih Muslim 1:574; Musnad Ahmad 1:314; Sunan
al-Baihaqi 7:336; al-hakim 2:196; al-Dar al-Mantsur
1:279.

13.Abu Dawud 2:227; Ibn Majah 2:227, al-Hakim dalam
al-Mubarak 2:59 dan 4:389; al-Baihaqi dalam Sunan
al-Kubra 8:264; Taysir al-Wushul 2:5; Fath al-Bari
12:101; Umdat al-Qari 11:151; Irsayad al-Sari 10:9.
Bukhari meriwayatkan hadits ini tetapi dengan tidak
lengkap, pada Kitab Al-Muharibin.

14.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib, 252.

15.Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad: wa Mada Hajatina ilaih
fi Hadza al-Ashar, Kairo: Dar al-Kutub al-Haditsah,
tanpa tahun, hal. 32-33.

16.Tafsir Ibn Katsir 4:194; Tafsir al-Darr al-Mantsur
6:74; Kanz al-Ummal 1:185.

17.Asbab al-Ikhtilaf bain Aimmah al-Madzahib
al-Islamiyah", dalam Hawl al-Wahdah al-Islamiyah,
Teheran: Sepahar, 1404, hal. 227-228.

18.Ibn Qayyim al-Jawziyyah, "I'lam al-Muqi'in, Mesir:
Mathba'ah Sa'adah, tt 1:63-64.

19.Al-Syatibi, "Al-'Itisham. Saya kutip lagi dari Abu
Zahrah. Tarikh al-Madzahib, hal. 255.

20.Di antara ayat-ayat yang menunjukkan keharusan
mengikuti ahli bait adalah Al-Maidah 55 (Menurut banyak
ahli tafsir, turun berkenaan dengan Ali bin Abi Thalib),
Al-Ahzab 33 (tentang 'ishmah ahli bait), Al-Syura 23
(tentang keharusan mencintai ahli waris). Di antara
hadist-hadits tentang hal yang sama adalah hadits
Tsaqalain: Aku tinggalkan bagimu dua hal, yang jika kamu
berpegang teguh, kamu tidak akan sesat selama-lamanya
Kitab Allah den Ahli Baitku (hadits-hadits yang semakna
dengan ini diriwayatkan oleh Shaih Muslim dalam Kitab
Fadhail al-Shahabat", Musnad Ahmad 4:366, Al-Baihaqi
2:148, Shahih al-Turmudzi 2:308, Mustadrak al-Shahihain
3:109, Kanz al-'Umal 1:47 dan lain-lain). dan hadits:
"Ahli baitku adalah tempat yang aman dari ikhtilaf bagi
umatku" (Mustadrak al-Shahihain 3:348), bukan tempatnya
di sini menuliskan semua riwayat yang dijadikan dalil
oleh kelompok pertama. Gubahan syair dari Al-Amini
al-Inhaqi dari Syiria, dalam Limadza Ikhtartu Madzhab
Ahl al-Bait, menyimpulkan dalil-dalil itu.

21.Lihat Dr. Musa Towana, Al-Ijtihad, hal. 39-40.

22.Shaih al-Bukhari, "Kitab al-'Ilam", 1:22. Lihat juga
Shahih Bukhari, "Kitab al-Jihad", dan Kitab al-Jizyah",
Shahih Muslim Bab "Tark al-Wasyiyyah" Musnad Ahmad,
hadits NO. 1935. Thabaqat ibn Sa'ad 2:244, Tarikh
Thabari 3:193.

23.Tadzkirat al-Huffazh, 1:5; Kanz al-'Ummal, 1:174.

24.Tadzkirat al-Huffazh, tarjamah Abu Bakr, 1:2-3.

25.Al-Thabaqat al-Kubra, 11:257; Tarikh al-Khulafa, 138.

26.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:188.

27.Tadzkirat al-Huffadz, 1:7, tarjamah 'Umar

28.Al-Thabaqat al-Kubra, 7:447.

29.Lihat "Kontroversi sekitar Ijtihad 'Umar r.a", dalam
Iqbal Abdurrauf Saimima, ed., Polemik Reaktualisasi
Ajaran Islam, Jakarta: Pustaka Panjimas, 1988, hal. 50.

30.Al-Jawharah al-Nayyirah; dikutip lagi dari al-Nash wa
al-Ijtihad, Qum Abu Mujtaba, 10404 H; hal. 44. Riwayat
pelarangan bagian muallaf, lihat Tafsir al-Manar 10:297;
Al-Durr al-Mantsur 3:252.

31.Tarikh al-Thabari 3:234; Tarikh Ibn Katsir 6:319;
Al-Kamil ibn al-Katsir 2:146, Il-Ishabah 2:322.

32.Kitab al-Kharraj 24-25; Sunan al-nasai 2:179; Tafsir
al-Thabari 10:6; Ahkam al-Qur'an dari Al-Jahshash 3:60
62; Sunan al-Baihaqi 6:342-343.

33.Al-Muwaththa', 2:10; al-Baihaqi 7:164; Ahkam
al-Qur'an dari Al-Jahshash 2:168; Al-Muhalla' 9:622;
Tafsir al-Zamahsyari 1:359; Tafsir al-Qurthubi 6:117;
Taisir al-Khazim 1:356; Al-Durr al-Mautsir 2:136; Tafsir
al-Syawkani 1:418.

34.Diriwayatkan oleh Imam Malik dalam Al-Muwaththa'
1:282 dari Urwah: Rasulullah shalat dua rakaat di Mina
pada shalat-shalat yang empat rakaat. Abu Bakar shalat
di Mina dua rakaat. Umar shalat di Mina dua rakaat.
Usman mula-mula shalat dua rakaat, tetapi kemudian
meng-itmam-kannya. Lihat juga Shahih al-Bukhari 2:154,
Sunan al-Muslim 2:260, Musnad Ahmad 2:148 Sunan
al-Baihaqi 3:126.

36.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Turmudzi 1:68,
Sunan Abu Dawud 1:171; Sunan Ibnu Majah 1:348; Sunan
al-Nasai 3:100, Kitab al-Umm 1:173, Sunan al-Baihaqi
1:429, 3:192, 205.

37.Shahih al-Bukhari 3:69; Shahih al-Muslim 1:349;
Musnad Ahmad 1:61,95; Sunan al-Nasai 5:148, 152; Sunan
al-Baihaqi 1:472; Mustadrak al-hakim 1:472; Tasyir
al-Wushul 1:282.

37.Shahih Muslim 1:142; Shahih al-Bukhari 1:109.

38.Ibn Hazm dalam Al-Muhalla 5:227; juga Al-Baladzuri
dalam al-Anshab 5:26.

39.Ibn Hajar, Fath al-Bari 2:361; lihat Al-Syawkani
dalam Al-Awthar 3:374. Ibn Hajar memberikan komentar.
"Utsman melihat kemaslahatan jamaah supaya dapat
mengejar shalat, sedangkan Marwan supaya orang
mendengarkan khutbahnya."

40.Fazlur Rahman, Membuka Pintu Ijtihad, Bandung:
Pustaka, 1983, hal. 26 menulis: Kami telah menyatakan
(1) bahwa sunnah dari kaum muslim di masa lampau secara
konsepsional dan kurang lebih secara garis besarnya
berhubungan erat dengan sunnah Nabi dan pendapat yang
menyatakan bahwa praktek-praktek muslim di masa lampau
terpisah dari konsep sunnah Nabi adalah salah sekali;
(2) bahwa meskipun demikian, kandungan yang khusus dan
aktual dari sunnah kaum muslim di masa lampau tersebut
sebagian besarnya adalah produk dari kaum muslim
sendiri; (3) bahwa unsur kreatif dari kandungan ini
adalah ijtihad personal yang mengalami kristalisasi
menjadi ijma' berdasarkan petunjuk pokok dari sunnah
nabi yang tidak dianggap sebagai sesuatu yang sangat
bersifat spesifik; (4) bahwa kandungan sunnah atau
sunnah dengan pengertian sebagai praktek yang disepakati
secara bersama adalah identik dengan ijma'.

41.Syibli Nu'mani, Umar Yang Agung, Bandung: Pustaka,
1404, hal. 532.

42.Abu Zahrah, Tarikh Al-Madzahib Al-Islamiyah, Dar
Al-Fikr Al-Araby, tt., hal. 267.

43.Shahih Bukhari, "Bab Ghazwat Al-Hudaibiyah," Kitab
Al-Maghazi, hadits ke 4170; Fath al-bari 7:449-450;
2:401.

44.Shahih Bukhari, "Bab I: Al-Hawah", Kitab Al-Riqaq.
Lihat Fath al-Bari, 11:463-476; Shahih Muslim, "Bab
Itsbat", Kitab Al-Fadhail.

45.Syarh Al-Muwaththa', 1:221; Tanwir Al-Hawalik,
1:93-94.

46.Al-Imam Al-Syafi'i, Al-Umm, 1:208.

47.Jami' Bayan Al-'Ilm, 2:244; lihat juga Dhuha
Al-Islam, 1:365; Turmudzi 3:302.

48.Jami'Bayan Al-' Ilm, 2:244.

49.Ansab Al-Asyraf, 2:180. Lihat juga Sunan al-Baihaqi
2:68; Kanz al-'Ummal, 8:143.

50.Catatan kaki pada hamisy kitab Sunan Al-Nasai, 5:263.

51.Tafsir Al-Nisabury, pada hamisy kitab Tafsir Al
Thabari, 1:79.

52.Lihat Ali Al-Hamady, Al-Sujud 'ala al-A'rdh, Dar Al
Tarqib, 1978, hal. 14. Kitab ini menunjukkan,
berdasarkan hadit-hadits yang diriwayatkan Ahl Sunnah
bahwa disamping Rasulullah saw., sahabat-sahabat seperti
Abu Bakar, Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas'ud,
Jabir bin Abdillah dan lain-lain melarang sujud selain
di atas tanah. Tidak mungkin kita menurunkan semua
hadits itu di sini Cukuplah kita kutip hadits Muslim
dari Khabab bin Al-Arat, "Kami mengeluoh kepada
Rasulullah tentang udara yang sangat panas sehingga
tanah menjadi sangat panas pada dahi-dahi kami. Tetapi,
Nabi saw. tidak mengizinkan kami (sujud selain di atas
tanah). Ibn Al-Atsir, ketika menjelaskan hadits ini,
dalam Al-Nihayah, berkata, "Para fuqaha menyebut
peristiwa ini berkenaan dengan sujud. Waktu itu para
sahabat meletakkan ujung baju mereka dilarang ketika
akan sujud untuk menghindarkan panas yang sangat; tetapi
mereka dilarang berbuat begitu. Ketika mereka mengadukan
apa yang mereka alami, Nabi saw. mengizinkan mereka
sujud di atas pakaian mereka itu.

53.Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyyah, hal.
257.

54.Shahih Al-Bukhari, 3:124, "Bab Walladzi Qala li
Walidaihi", Fath Al-Bari, 10:197-198. Lihat juga
biografi Al-Haban bin Al-'Ash pada Al-'Isti'ab, Usud
Al-Ghabab, Al-Ishabah, Mustadrak Al-Hakim, 4:481, Tarikh
Ibn Katsir, 8:889; lihat juga biografi Abdurrahman bin
Abi Bakr dalam Ibn Asakir, Tarikh Dimasq.

55.Tafsir Al-Thabari, 19:72-75; Ibn Katsir, Al-Bidayah
wa Al-Nihayah, 3:40.

56.Ibn Katsir, ibid., 7:214

57.Kata Al-Dzhabi dalam Tadzkirat Al-Huffadz, 698-701.

58.Shahih Muslim, bab "Man La Ha'arahun Naby", Kitab
Al-Birr wa Al-Shilah.

59.Al-Sirah Al-Nabawiyyah, Beirut, Dar Ihya' Al-Turats
Al-'Arabiy, juz I.

--------------
Jalaluddin Rahmat, dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah". Oleh : Buddy Munawar Rahman

Fiqh dari Khulafaurrasyidin hingga Mazhab Liberalisme (Bag.2)

IMAM MALIK

Pada zaman kekuasaan Ja'far ibn Sulayman tahun 146 H Malik
dihukum cambuk. Ia --menurut satu riwayat-- mengeluarkan fatwa
yang tidak dikehendaki penguasa. Setelah itu, al-Manshur
merasa bersalah, di samping ingin berusaha memanfaatkan alim
besar ini. Ia tidak mungkin menarik Ja'far dan tidak berhasil
mengambil hati Abu Hanifah. Al-Manshur pada musim haji 153 H,
meminta maaf kepada Malik atas perlakukan salah seorang
penguasanya. Ia memberikan wewenang besar pada Malik untuk
mengangkat dan memberhentikan para pejabat yang dipandangnya
tidak mampu. Ia juga boleh menghukum mati atau memenjarakan
yang dipandangnya bersalah.

Karena wewenangnya ini, Malik menjadi sangat berwibawa.
Orang-orang ketakutan berada di majlisnya, karena wibawa
Malik. Ketika seorang murid membantah Malik perihal penguburan
rambut dan kuku, Malik memukul orang itu dan memenjarakannya
Ketika seorang bertanya: "Bagaimana pendapat Anda tentang
orang yang berpendapat bahwa al-Qur'an itu makhluk?." Malik
memanggil pengawalnya: "Ia zindiq, bunuh dia." Orang itu
berkata: "Bukan aku yang berkata begitu. Aku hanya melaporkan
ucapan orang lain." Malik menukas: "Tapi aku hanya
mendengarnya dari kamu."

Catatan kecil di atas menunjukkan kekuasaan Malik. Ini sangat
berpengaruh pada penyebaran madzhabnya. Madzhab Maliki
mendasarkan fiqhnya pada 12 pokok: a) Al-Qur'an: zhahirnya,
dalil-nya, mafhum-nya dan illat-nya; b) Al-Sunnah:
al-mutawatirah dan al-masyhurah. Bila zhahirnya sunnah
bertentangan dengan al-Qur'an, didahulukan al-sunnah; c) Ijma'
penduduk Madinah, ijma' secara naql. Ijma' sebelum terbunuhnya
Utsman, ijma' mutaakhir: masing-masing dengan kekuatan hukum
yang berbeda; d) Fatwa sahabat; e) Khabar Ahad dan Qiyas; f)
Istihsan; g) Mashalih mursalah; h) Sadd al-Dzara'i; i) Mura'at
khilaf al-mujtahidin; j) Istishhab; k) Syar'man qablana.

IMAM SYAFI'I

Pokok-pokok fiqh Syafi'i ada lima: a) Al-Qur'an dan al-Sunnah;
b) al-Ijma'; c) Pendapat sahabat yang tidak ada yang
menentangnya; d) Ikhtilaf sahabat Nabi; e) Qiyas.

IMAM HANBALI

Pokok-pokok fiqh madzhab Hanbali: a) Al-Nushush; b) Fatwa
sahabat; c) Ikhtilaf sahabat; d) Hadits mursal dan dha'if; e)
Qiyas.

4. STAGNASI PEMIKIRAN FIQH: MASA KETERTUTUPAN

Dr. Muhammad al-Tijani al-Samawi bercerita tentang kisah
fanatisme di kota Qafsah, Tunisia. Seorang alim besar di kota
itu mengecam orang-orang yang menjamak shalat Zhuhur dan
Ashar. "Mereka membawa agama baru yang bukan agama Muhammad
saw. Mereka menyalahi al-Qur'an yang menyatakan bahwa shalat
itu bagi kaum Mukmin kewajiban yang ditetapkan waktunya."
Seusai shalat, seorang pemuda menanyakan lagi perihal shalat
jamak. Ia berkata bahwa itu termasuk salah satu bid'ah orang
Syi'ah. Tetapi shalat jamak ini terdapat dalam kitab hadits
shahih Bukhari dan Muslim, kata pemuda itu. "Tidak benar,"
kata sang imam. Pemuda itu mengeluarkan kedua kitab shahih
tersebut dan memintanya membaca hadits-hadits tentang shalat
jamak. Ketika ia membacanya, hadirin tercengang mendengarnya.
Ia mengembalikan kedua kitab itu sambil berkata, "Ini khusus
untuk Rasulullah saw. Bila engkau sudah menjadi Rasul Allah
bolehlah engkau melakukannya." Pemuda itu bermaksud
menunjukkan bahwa Ibn Abbas, Anas ibn Malik dan banyak sahabat
lainnya melakukan shalat jamak (bukan karena bepergian),
tetapi ia mengurungkan maksudnya.

Di Afghanistan seorang mushalli memberi isyarat dengan
telunjuknya dan menggerak-gerakkannya. Kawan shalat di
sampingnya memukulnya dengan keras sehingga telunjuk itu
patah. Ketika ditanya mengapa itu terjadi, ia menjawab bahwa
menggerakkan telunjuk dalam tasyahud adalah haram. Apa
dalilnya? Dalilnya terdapat dalam Kitab fiqh al-Syaikh
al-Kaydani.

Kedua peristiwa di atas terjadi dalam rentang waktu cukup lama
-menurut sebagian penulis dari abad VI Hijrah sampai abad
XIII. Sebuah rentang waktu yang oleh para Tarikh Tasyri'
disebut sebagai zaman stagnasi pemikiran fiqh ('ashr
al-rukud).

Al-Ustadz al-Zarqa melukiskan situasi umum pada waktu itu:
Pada zaman tersebut pemikiran fiqh mengalami kemunduran,
dimulai kemandegan dan diakhiri kebekuan, walau selama masa
itu muncul juga beberapa ulama fiqh dan ushul yang cemerlang.
Pada zaman inilah pemikiran taqlid mutlak dominan. Pemikiran
bergeser dari upaya mencari sebab-sebab dan maksud syara'
dalam memahami hukum, ke upaya menghapal yang sia-sia dan
merasa cukup dengan menerima apa yang telah tertulis dalam
kitab-kitab madzhab tanpa penelitian. Dengan begitu,
menghilanglah kegiatan yang dulu merupakan gerakan takhrij,
tarjih, dan tanzhim dalam madzhab fiqh. Peminat fiqh hanya
mempelajari kitab yang ditulis seorang faqih tertentu di
antara tokoh-tokoh madzhabnya Ia tidak melihat kepada syari'at
dan fiqh kecuali melalui tulisan dalam kitab itu, sesudah
sebelumnya mempelajari al-Qur'an, al-Sunnah, pokok-pokok dan
maksud-maksud syara'.

Pasal ini akan memperlihatkan karakteristik zaman ini dari
segi karya-karya ilmiah yang lahir waktu itu dan dari segi
kecenderungan pemikiran. Kita akan mengakhiri dengan melacak
sebab-sebab timbulnya stagnasi pemikiran ini.

KARAKTERISTIK ZAMAN STAGNASI: TRADISI MENSYARAH KITAB

Setelah keempat imam madzhab ahl al-Sunnah meninggal dunia,
fiqh memasuki zaman tadwin (kodifikasi). Berbagai ilmu Islam
dibukukan dan tidak disampaikan secara lisan lagi. Penafsiran
al-Qur'an, hadits, ilmu ushul al-fiqh, dan fiqh para imam
madzhab disusun dalam buku. Dalam penafsiran al-Qur'an
misalnya, para ulama menghimpun hadits-hadits Nabi saw, baik
yang lemah maupun yang kuat, serta menghimpun penafsiran para
sahabat, tabi'in, dan para mujtahid. Mereka menulis buku-buku
yang lebih merupakan ensiklopedia atau kamus dari pada
analisis ilmiah. Pada masa inilah berkembang al-tafsir bi
al-ma'tsur. Hadits-hadits dibukukan dalam bentuk al-jawami',
al-masanid, al-ma'ajim, al-mustadrakat dan sebagainya.
Bersamaan dengan itu, dibukukan pula riwayat para perawi
hadits, ilmu jarh wa ta'dil dan riwayat para sahabat. Para
pengikut membukukan fatwa-fatwa dan hasil ijthad para mujtahid
tersebut.

Gerakan tadwin, di satu sisi menyimpan khazanah ilmu para
ulama; tapi di sisi lain menyebabkan para ulama merasa cukup
dengan apa yang telah tersedia. Mereka tak merasa perlu
melakukan penelitian ulang. Perlahan-lahan berkembanglah
tradisi membuat syarah (komentar) dan matan. Maksudnya untuk
memudahkan pembaca memahami kitab-kitab rujukan. Mereka
menjelaskan kata-kata atau kalimat-kalimat secara sematik,
atau menambahkan penjelasan dengan mengutip ucapan para ulama
lain. Tidak jarang syarah suatu kitab disyarahi dan disyarahi
lagi. Untuk Shahih al-Bukhari, sepanjang saya ketahui, paling
tidak ada tiga kitab syarah: Fath al-Bary, Irsyad al-Sary,
Umdat al-Qary. Ada pula beberapa kitab yang mensyarah
al-Muwatha susunan Imam Malik.

Pada zaman ini, juga berkembang tradisi munaqasyah madzhabiyah
(diskusi madzhab). Para ulama madzhab Syafi'i menyerang
tulisan para ulama madzhab Hanbali atau sebaliknya.
Argumentasi dikembangkan untuk membela madzhab masing masing.
Ulama ahl al-Sunnah menulis kitab yang menyerang ajaran
Syi'ah. Ulama Syi'ah membalasnya dengan menulis kitab lagi.
Atau sebaliknya. Sebagai jawaban terhadap serangan ahl
al-Sunnah, al-Hilly menulis Minhaj al-Karamah. Ibn Rouzbahan
menulis bantahan pada Minhaj al-Karamah. Bantahan ini dibantah
lagi oleh al-Mar'asyi al-Tustary. Sekarang bantahan itu sudah
menjadi 19 jilid Ihqaq al-Haq, yang setiap jilidnya seukuran
satu jilid Encyclopedia Britannica. Ibn Taymiyah menulis
Minhaj al-Sunnah untuk menolak Minhaj al-Karamah. Al-Amini
menulis 11 jilid al-Ghadir hanya untuk membuktikan keshahihan
hadits Ghadir Khum, yang didhaifkan Ibn Taymiyah. Polemik
antar madzhab ini bukanlah sesuatu yang jelek dan telah
berlangsung sejak zaman para imam madzhab. Imam Syafi'i,
misalnya, melakukan kritik terhadap beberapa pendapat Muhammad
ibn al-Hasan al-Syaybany. Tapi pada zaman kemandegan,
munaqasyah madzhabiyah telah menjadi benih yang menyuburkan
fanatisme madzhab. Setiap madzhab membela pahamnya dengan
tidak lagi mengindahkan adab diskusi ilmiah. Sikap ini
ditunjukkan jelas oleh al-Syaykh Abu al-Hasan Abdullah
al-Karkhy ketika ia berkata, "setiap ayat atau hadits yang
bertentangan dengan apa yang ditetapkan madzhab kami, harus
dita'wilkan atau dimansukhkan.

FANATISME MADZHAB

Asad Haydar menyebut tahun 645 Hijrah sebagai tahun
ditetapkannya empat mazhab sebagai madzhab yang diakui
khilafah Islam waktu itu. Para ulama dari keempat madzhab
diundang ke istana. Walau begitu, gejala fanatisme madzhab
dapat dilacak sejak abad IV Hijrah. Seperti telah disampaikan
pada tulisan terdahulu, kekuasaan sangat berperan dalam
menyuburkan fanatisme madzhab.

Untuk mempertahankan keunggulan madzhabuya, para pengikutnya
meriwayatkan mitos di sekitar para imam madzhabnya.
Kadang-kadang riwayat-riwayatnya dinisbahkan pada Nabi
Muhammad saw. Konon Nabi Muhammad saw pernah berkata: "Semua
nabi bangga denganku dan aku bangga dengan Abu Hanifah. Siapa
yang mencintai Abu Hanifah ia mencintaiku, siapa yang membenci
Abu Hanifah ia membenciku. Di antara karamah Abu Hanifah ialah
bergurunya Nabi Khidr kepadanya. Ia belajar pada Abu Hanifah
setiap waktu Subuh selama lima puluh tahun. Ketika Abu Hanifah
wafat, Nabi Hidhir mohon agar ia diizinkan tetap berguru
padanya di alam kubur, supaya ia dapat mengajarkan syari'at
Islam secara lengkap. Allah mengizinkannya. Ia kemudian
menyelesaikan kuliah dari Abu Hanifah selama 25 tahun lagi.

Diriwayatkan oleh para pengikut Maliki bahwa pada paham Imam
Malik sudah tertulis Malik Hujatullah di bumi. Tentang Imam
Syafi'i, katanya, Rasul Allah saw bersabda: "Ya Allah berilah
petunjuk pada suku Quraiysy, karena seorang alimnya akan
memenuhi seluruh bumi dengan ilmunya." Orang alim itu adalah
Imam Syafi'i. Mengenai Imam Ahmad bin Hanbal Abdullah
al-Sajastany berkata: "Aku pernah melihat Rasul Allah saw
dalam mimpi. Aku bertanya: "Ya Rasul Allah, siapakah yang
engkau tinggalkan, yang patut kami ikuti di zaman kami?" Rasul
Allah saw menjawab: "Aku tinggalkan bagimu Ahmad bin Hanbal."

Dengan berbagai "keutamaannya" itulah, pengikutnya
mensakralkan fatwa para mujtahid. Fatwa mujtahid lebih
didulukan dari ayat al-Qur'an dan al-Sunnah. Al-Fakhr al-Razy
menceritakan pengalamannya ketika ia menafsirkan: afala
yatadabbarun al-Qur'an. Aku pernah menyaksikan sekelompok
faqih yang taklid, memandangku dengan heran bila aku bacakan
ayat-ayat al-Qur'an tentang beberapa masalah yang bertentangan
dengan madzhab mereka. Mereka tidak mau menerimanya bahkan
tidak mau menelitinya. Mereka heran bagaimana mungkin
mengamalkan zhahirnya ayat-ayat itu, padahal ulama dari
madzhab mereka terdahulu tidak pernah mengamalkannya.

Abu Sulayman al-Khaththaby mengisahkan suasana zaman itu: Saya
lihat ahli ilmu dewasa itu terbagi menjadi dua kelompok:
pendukung hadits dan atsar dan ahli fiqh dan fikir. Padahal
keduanya sama-sama dibutuhkan dan tidak bisa ditinggalkan
dalam menuju cita-cita kehidupan. Itu karena hadits bagaikan
fondasi, sedangkan fiqh bagaikan bangunannya. Setiap bangunan
yang fondasinya tidak kokoh, maka akan cepat roboh. Setiap
fondasi tanpa bangunan, maka akan sunyi dan lekas rusak. Saya
lihat kedua kelompok ini saling berdekatan tempat tinggalnya
dan sebetulnya saling membutuhkan. Namun, karena rasa harga
diri mereka yang sangat tajam, keduanya menjadi ikhwan yang
saling berjauhan: mereka tak menampakkan sikap saling membantu
dan menolong di jalan yang hak.

Kedua kelompok itu, pertama, kelompok ahli hadits dan atsar
rata-rata berambisi dalam periwayatan, pengumpulan sanad, dan
pemisahan hadit-hadits gharib dan syadz --hadits-hadits yang
kebanyakan mawadhu' dan maqlub. Mereka tidak memelihara
matannya, tidak memahami maknanya, tidak menggali rahasianya,
dan tidak mengungkapkan kandungan fiqhnya.

Kadang-kadang mereka mencela para fuqaha, mencacad mereka dan
menuduhnya menyalahi sunnah. Mereka tidak sadar bahwa kadar
keilmuannya sendiri sangat dangkal dan mereka berdosa
melemparkan kata-kata kotor pada para fuqaha.

Sedangkan kelompok kedua, yakni ahli fiqh dan fikir,
kebanyakan tidak memilih-milih hadits, kecuali sebagian kecil.
Mereka hampir tidak bisa membedakan hadits yang shahih dan
hadits yang dhaif, yang bagus dan yang buruk. Mereka tidak
mempedulikan hadits-hadits yang dikuasai dan yang digunakan
untuk mempertahankan argumentasinya di hadapan lawan bila
hadits-hadits tersebut telah sesuai dengan madzhab yang mereka
ikuti dan pendapat yang mereka yakini. Mereka sepakat menerima
hadits dhaif dan munqathi' bila telah masyhur di kalangan
mereka dan telah membibir dalam percakapan mereka, walau tidak
didukung satu dalil pun atau tidak meyakinkan. Yang demikian
adalah suatu kesesatan dan penipuan ra'yu.

Apabila diriwayatkan pada mereka hasil ijtihad para tokoh
madzhab mereka atau para ahli dari aliran mereka, mereka
segera mencari kepercayaan umat terhadapnya, namun mereka
tidak ikut bertanggungjawab.

Saya lihat para pendukung Malik tidak menerima riwayat dari
padanya kecuali yang melalui Abu al-Qasim (Rasul Allah),
ashhab (para sahabat), dan para pendahulu yang setingkat
dengan mereka. Maka pendapat yang datang dari Al-Hakam tidak
memiliki keistimewaan di mata mereka. Mereka mau menerima
riwayat dari padanya kecuali yang melalui Abu Yusuf, Muhammad
ibn al-Hasan dan para tokoh sahabat serta murid-muridnya yang
lain. Bila pendapat itu datang dari al-Hasan ibn Ziyad dan
pendapatnya berbeda dengan riwayat yang melalui mereka, mereka
tidak akan menerima. Begitu juga para pengikut al-Syafi'i.
Mereka hanya menerima riwayat al-Muzany dan al-Raby ibn
Sulayman al-Murady. Maka bila datang riwayat Harmalah,
al-Jiziy dan sebagainya, mereka tak memperhatikan dan tak
menganggapnya sebagai pendapat al-Syafi'i.

Demikianlah keumuman sikap setiap kelompok terhadap madzhab
imam dan gurunya masing-masing.

Fanatisme madzhab bukan saja telah menghambat pemikiran,
menghancurkan otak-otak cemerlang, tapi juga menimbulkan
perpecahan di kalangan kaum Muslim. Dalam sejarah, telah
terjadi beberapa kali, mereka saling mengkafirkan yang
kemudian memuncak pada peperangan antar sesama Muslim. Sebagai
contoh adalah peristiwa yang terjadi di Baghdad, 469 Hijrah.

Pada madrasah Nizhamiyah, Ibn al-Qusyayry al-Syafi'i memegang
kekuasaan. Ia selalu mengecam Ahmad ibn Hanbal dan para
pengikutnya sebagai penganut antropomorfisme. Dengan bantuan
penguasa ia menyerang pemimpin Hanbaly, Abd al-Khaliq ibn Isa.
Pengikut al-Qusyayry menutup pintu-pintu pasar madrasah
Nizhamiyah. Lalu, terjadilah pertumpahan darah antara kedua
golongan. Pemerintah kemudian mengumpulkan wakil kedua belah
pihak dan meminta supaya mereka berdamai. Al-Qusyayry berkata:
"Perdamaian macam apa yang harus ada diantara kami? Perdamaian
terjadi di antara orang yang memperebutkan kekuasaan atau
kerajaan. Sedangkan kaum ini menganggap kami kafir dan kami
menganggap orang-orang yang aqidahnya tidak sama dengan kami
juga kafir. Maka perdamaian macam apa yang bisa berlaku di
antara kami."

PENUTUPAN PINTU IJTIHAD

Walau ada pembagian ijtihad yang bermacam-macam, kita dapat
mengelompokkan dua macam ijtihad: ijtihad muthlaq dan ijtihad
fi al-madzhab. Pada ijtihad muthlaq, seorang mujtahid
mengembangkan metode ijtihadnya secara mandiri dan
mengeluarkan hukum-hukum berdasarkan metodenya itu. Yang dapat
melakukan ijtihad jenis ini disebut mujtahid mustaqil
(mujtahid independen). Menurut para pengikut madzhab Syafi'iy
dan kebanyakan Hanafi, ijtihad mustaqil sudah tertutup. Namun
sebaliknya menurut kebanyakan Hanbaly, setiap zaman tak boleh
kosong dari mujtahid mustaqil. Sementara itu menurut Maliky,
meski pada tiap zaman boleh saja tak ada mujtahid mustaqil,
tapi tak boleh tidak harus ada mujtahid fi al-madzhab.

Demikian catatan Abu Zahrah tentang tertutupnya pintu ijtihad.
Namun kenyataannya, di zaman kemandegan pintu ijtihad, yang
ditutup adalah ijtihad muthlaq. Adapun ijtihad fi al-madzhab,
terus berkembang. Di sini mujtahid berpegang pada metode
ijtihad imam mazhabnya, tapi boleh saja menghasilkan
kesimpulan furu'iyyah yang berbeda dari imam mazhabnya. Dalam
hal ini, ia tentu saja masih menggunakan fatwa imam mazhabnya
sebagai rujukan. Karena itu, ia disebut mujtahid muntasib,
mungkin karena ia berijtihad dengan metode yang sama untuk
menjawab masalah-masalah yang belum dipecahkan imam mazhabnya;
atau menafsirkan yang mujmal menjelaskan yang mubham dari
ucapan imam, atau mentarjih (memilih yang terkuat) pendapat
imam yang bermacam-macam itu.

Sebenarnya, penutupan pintu ijtihad pada saat ini, lebih
ditujukan pada ijtihad muthlaq. Walau tak diketahui secara
pasti sejak kapan, penutupan pintu ijtihad terjadi karena ada
anggapan bahwa tidak ada ulama yang memenuhi persyaratan
seperti keempat imam itu. Sebalikaya, menurut Abu Zahrah, di
kalangan Syi'ah tidak pernah dikenal tertutupnya pintu
ijtihad. Sayyid Rasyid Ridha, mengikuti gurunya Syaikh
Muhammad Abduh, mengecam penutupan pintu ijtihad yang mana
pun: "Kita tidak menemukan manfaat apa pun dari penutupan
pintu ijtihad". Bahayanya banyak --berakibat pada
terbengkalainya akal, terputusnya pengembangan ilmu dan
terhalangnya kemajuan pemikiran. Kaum Muslim mundur karena
meninggalkan ijtihad sehingga mereka menjadi seperti yang kita
lihat sekarang ini.

SEBAB-SEBAB STAGNASI

Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan menyebut tiga sebab stagnasi
pemikiran pada zaman ini: faktor-faktor politik, campur tangan
penguasa dalam kekuasaan kehakiman dan kelemahan posisi ulama
dalam menghadapi umara.

Untuk yang pertama, kita ingin menegaskan kembali bahwa
madzhab berkembang karena dukungan politik. Maka ketika satu
madzhab memperoleh kekuasaan, pemikiran yang bertentangan
dengan madzhab itu ditindas. Jika kita membaca kitab-kitab
sejarah madzhab, kita akan menemukan bagaimana seseorang yang
berbeda madzhab atau berganti madzhab menghadapi berbagai
cobaan. Lebih-lebih bila berbeda pendapat dengan madzhab
penguasa.

Untuk sebab kedua, telah ditunjukkan bagaimana para ulama
berebutan menjadi qadhi. Qadhi diangkat oleh penguasa. Qadhi
tidak ingin mengambil risiko berbeda pendapat dengan
madzhabnya, karena ia dapat dikucilkan oleh masyarakat,
didiskreditkan ulama dan diadukan pada penguasa. Karena itu,
yang paling aman adalah mengikuti pendapat para imam mazhab
yang sudah dibukukan. Di sini harus dicatat: dalam sejarah,
para penguasa Muslim lebih sering menindas kebebasan pendapat
dari pada mengembanghannya. Di samping itu, posisi ulama yang
lemah memperkuat fanatisme madzhab. Ulama sangat bergantung
kepada umara. Umara tentu saja selalu berusaha mempertahankan
status quo, demi "ketertiban dan keamanan".

Dalam posisi seperti itu, kalau pun ulama berijtihad,
ijtthadnya hanyalah dalam rangka memberikan legitimasi pada
kebijakan penguasa. Contoh terakhir adalah pernyataan para
ulama Rabithah yang mendukung kehadiran tentara Amerika di
Jazirah Arab. Empat puluh tiga hari sebelum Saddam menyerbu
Kuwait, para ulama dari 70 negara Islam menyatakan bahwa
Saddam sebagai mujahid Islam yang taat pada Allah dan
al-Qur'an. Setelah invasi, para ulama yang sama menyatakan
Saddam sebagai bughat dan pemimpin dhalim. Bukankah ini
ijtihad dan setiap ijtihad selalu mendapat pahala? Bila
ijtihadnya salah, ia mendapat satu pahala, dan bila benar dua.

Abd al-Wahhab Khalaf menyebutkan empat faktor yang menyebabkan
kemandegan. Yaitu terpecahnya kekuasaan Islam menjadi
negara-negara kecil hingga umat disibukkan dengan eksistensi
politik; terbaginya para mujtahid berdasarkan madrasah tempat
mereka belajar; menyebarnya ulama mutathaffilin (ulama yang
memberi fatwa berdasarkan petunjuk Bapak); dan menyebarnya
penyakit akhlak seperti hasud dan egoisme di kalangan ulama.

5. FIQH DITELAAH KEMBALI: FIQH KAUM PEMBARU

"Yahya memberitakan kepadaku dari Malik dari Ibn Syihab. Ia
ditanya tentang menyusui orang dewasa. Ia berkata: 'Urwah bin
Zub air mengabarkan kepadaku bahwa Hudzaifah bin 'Utbah bin
Rabi'ah --salah seorang sahabat Nabi saw. yang ikut
menyaksikan perang Badar-- telah mengangkat Salim sebagai
anaknya. Sehingga ia disebut Salim mawla Abu Hudzaifah,
sebagaimana Rasulullah saw. mengangkat Zaid ibn Haritsah
sebagai anak. Abu Hudzaifah menikahkan Salim --yang dipandang
sebagai anaknya itu-- dengan anak saudara perempuannya
Fathimah bint al-Walid bin 'Utbah bin Rabi'ah. Waktu itu ia
termasuk wanita muhajirat yang awal dan gadis Quraysy yang
utama. Ketika Allah menurunkan ayat dalam Kitab-Nya tentang
Zaid ibn Haritsah --panggillah mereka dengan nama bapak-bapak
mereka. Itu lebih adil di sisi Allah. Jika kamu tidak
mengetahui bapak-bapak mereka, maka mereka adalah saudaramu
dalam agama dan mawla-mawla kamu --maka dikembalikanlah setiap
orang di antara mereka itu kepada bapaknya. Bila tidak
diketahui bapaknya, dikembalikan kepada mawlanya. Sahlan binti
Suhail --istri Hudzaifah dari Bani Amir-- datang menemui
Rasulullah saw. dan berkata: "Ya Rasul Allah, kami menganggap
anak kepada Salim. Ia sering masuk ke rumahku dan aku dalam
keadaan fudhul (memakai busana rumah yang tidak menutup
aurat). Kami hanya mempunyai rumah satu, bagaimana menurut
Anda? Rasulullah saw. berkata kepadanya: "Susukanlah dia lima
kali susuan sehingga ia menjadi muhrim dengan susunya".
Setelah itu ia memandangnya sebagai anak susuan. Aisyah
mengambil cara ini bila ada laki-laki yang ingin masuk ke
rumahnya Ia menyuruh saudaranya, Umu Kultsum binti Abu Bakar
al-Shiddik dan anak-anak perempuan saudaranya untuk menyusukan
laki-laki yang ingin masuk ke rumahnya. Istri-istri Nabi saw
yang lain menolak untuk mengizinkan laki-laki masuk ke rumah
dengan susuan seperti itu. (Malik, Al-Muwatha 2: 115-116)

Contoh lain: "Seorang A'raby meminum minuman 'Umar. (Ia mabuk)
dan 'Umar menetapkan hukum cambuk baginya. Orang A'raby itu
berkata: Aku minum dari minumanmu. 'Umar meminta minumannya
itu, lalu mencampurkan air ke dalamnya, kemudian meminumnya.
Ia berkata: Siapa yang ragu untuk meminumnya, campurkan air ke
dalamnya. Ibrahim al-Nakhti meriwayatkan hadits yang sama dari
'Umar dan berkata: 'Umar meminumnya setelah mencambuk orang
A'raby itu. (Al-Jashash, Ahkam al-Qur'an 2:565).

Dua peristiwa di atas diambil dari kitab-kitab yang menjadi
rujukan dalam menjawab masalah-masalah fiqhiyah. Dari
peristiwa yang pertama para faqih menyimpulkan beberapa hukum:
(1) Batas susuan yang menyebabkan seorang haram dinikahi
adalah lima kali susuan; (2) Tidak boleh laki-laki yang bukan
muhrim memasuki rumah seorang perempuan, kecuali bila
laki-laki itu saudara sepesusuan; (3) Dianjurkan menyusukan
orang yang sudah dewasa supaya ia halal masuk ke rumah seorang
perempuan.

Kesimpulan terakhir ini telah disepakati fuqaha. Mereka
mempersoalkan cara menyusukan itu. Bagaimana mungkin Nabi saw
menghalalkan sesuatu dengan tindakan yang haram? (Bukankah
bersentuhan dengan perempuan yang bukan muhrim itu haram,
apalagi menyusu kepadanya?). Mungkinkah ini hanya fiqhnya
'Aisyah. Bukankah istri-istri Nabi saw yang lain menolaknya?
Bukankah pada kitab hadits yang sama Umar ibn Khatab dan
Abdullah ibn Mas'ud hanya membenarkan susuan pada waktu kecil
saja?

Peristiwa yang kedua dijadikan dalil oleh sebagian pengikut
madzhab Hanafi untuk menghalalkan minuman keras (khususnya
Nabi) bila dicampur dengan air. Tentu saja fuqaha
mazhab-mazhab yang lain menolaknya. Dengan merujuk pada hadits
yang mengharamkan minuman keras --baik sedikit maupun banyak
mereka telah membenarkan halalnya minuman keras karena
dicampur air. Yang kemudian menjadi persoalan adalah tindakan
'Umar. Apakah perilaku 'Umar dapat dijadikan model dalam
pengambilan kesimpulan hukum? Apakah pendapat para sahabat
dapat dijadikan hujjah dalam agama? Apakah tindakan 'Umar itu
suatu preseden bolehnya meninggalkan nash-nash syari'at bila
kondisi berubah?

Pertanyaan-pertanyaan tersebut merupakan problema yang
dihadapi para pembaru Islam ketika mereka menelaah kembali
fiqh yang ada. Yang dipersoalkan bukan hanya penafsiran
nash-nash tetapi juga metode pengambilan keputusan. Dalam
istilah fiqh, yang harus ditinjau bukan saja al-adillat
al-syar'iyat, tetapi juga ushul al-fiqh. Dari fenomena
tersebut, ternyata "Kembali kepada al-Qur'an dan al-Sunnah"
tidak segampang seperti yang dibayangkan.

Slogan yang di Indonesia didengungkan kaum modernis ini,
sebetulnya hanyalah salah satu aliran peninjauan kembali fiqh,
setelah orang merasa perlu membuka kembali pintu ijtihad.
Aliran tersebut sebenarnya adalah skripturalisme, yaitu aliran
yang berpegang kepada teks-teks syari'at secara kaku. Arkoun
menyebut aliran ini logosentrisme yang ia gambarkan sebagai
berikut:

Di samping aliran ini ada aliran yang sangat menekankan rasio
(akal)., yaitu liberalisme. Aliran ini tak lagi terikat dengan
bunyi teks, tapi berusaha menangkap menurutnya, makna hakiki
dari teks. Makna ini dianggap sebagai ruh ajaran Islam, tema
umum Islam, maqashid syar'iyah dan sebagainya. Skripturalisme
dan liberalisme keduanya berusaha mendobrak kebekuan pemikiran
Islam; sekaligus merupakan fiqh baru yang dapat menjawab
masalah-masalah baru akibat perubahan masyarakat. Berbagai
upaya rekonstroksi fiqh di dunia Islam sekarang ini berangkat
dari kedua aliran tersebut. Karena itu, dalam upaya menelaah
kembali fiqh, kita harus memulai dengan menyorot kedua aliran
ini secara kritis dibahas skriptularisme.

LATAR BELAKANG SKRIPTURALISME

Seperti diketahui dalam fiqh tabi'in, ada dua aliran besar
dalam fiqh Islam: ahl al-Ra'y dan ahl al-Hadits. Yang pertama
menekankan rasio dalam pengambilan keputusan. Yang kedua
berdasarkan fiqh pada hadits walaupun lemah dan menolak
penggunaan rasio. Mazhab-mazhab fiqh terletak di antara kedua
ekstrim itu. Yang paling dekat dengan ahl al-ra'y adalah
madzhab Hanafi; dan yang paling dekat dengan ahl al-hadits
adalah mazhab Hanbali.

Imam Ahmad ibn Hanbal, yang mengumpulkan ribuan hadits dalam
musnadnya, memang lebih terkenal sebagai ahli hadits dari pada
ahli fiqh. Ibn Qutaybah memasukkan Ahmad di antara muhadditsin
dan Ibn Jarir al-Thabari menolak Ahmad sebagai ahli fiqh.
Semuanya terjadi karena Ahmad mendasarkan mazhabnya pada
hadits Rasulullah saw (meski lemah), fatwa para sahabat, dan
menolak qiyas kecuali dalam keadaan terpaksa. Jadi fiqhnya
selalu merujuk pada nash-nash al-Qur'an atau hadits.

Karena itu, tugas ahli fiqh hanyalah mencari nash yang
relevan. Pada Ibn Hazm, dan terutama sekali pada Daud
al-Zhahiri, kesetiaan pada teks sangat ekstrem. Mereka menolak
ta'wil dan menerima hadits secara harfiyah. Ibn Taymiyah
memperkuat gerakan anti rasionalisme ini dengan menolak setiap
penggunaan logika dalam khazanah ilmu-ilmu Islam dan sekaligus
menolak praktek-praktek yang tidak ada dasarnya dalam teks
al-Qur'an dan hadits. The Encyclopedia of Islam menyebut Ibn
Taymiyah sebagai the bitter enemy of innovations.

Paham Ibn Taymiyah dihidupkan kembali oleh Muhammad ibn Abd
al-Wahab lima abad kemudian. Seperti Ibn Taymiyah, ia mencela
kaum mutakallim, filsuf dan sufi. Dalam kalimat W.C. Smith,
Muhammad ibn Abd al-Wahab menolak "the corruption and laxity
of the contemporary decline, the introvert warmth and other
wordly pety of the mystic way, ...the alien intellectualism
not only of philosophy but also theology" (Smith, 1968:42).

Raja Malik ibn Abd al-Aziz, ketika menyampaikan khutbahnya di
Makkah tahun 1355, berkata: "Madzhab kami mengikuti dalil,
bila ada; bila tidak ada, dan yang ada hanya ijtihad, kami
mengikuti ijtihad Ahmad ibn Hanbal: (Mughniyah, 1987:95).
Paham ini, yang kemudian menjadi paham resmi Arab Saudi,
mempengaruhi banyak aliran pembaharuan di seluruh dunia.
Mereka melihat masa Salaf sebagai model, dan kembali kepada
al-Qur'an dan hadits sebagai satu-satunya jalan untuk
memecahkan segala persoalan Islam.

KEGAGALAN SKRIPTURALISME

Keyakinan bahwa kesetiaan pada teks al-Qur'an dan hadits cukup
untuk memecahkan persoalan ternyata hanya simplikasi. Pada
saat yang sama, menurut Fazlur Rahman, "since the leaders of
these movements were interested in negating some of the
influences of the medieval school of islamic thought and law,
they inevitably took a negative attitude toward the
intellectual and spiritual developments that had taken place
in the intervening centuries" (Rahman, 1981:26).

Ada beberara kegagalan skripturalisme. Pertama, dalam aqidah.
Karena skriptualisme menerima teks-teks al-Qur'an dan hadits
dengan apa adanya, mereka menetapkan keharusan percaya bahwa
Ia turun ke langit dunia, mengobrol dengan ahli surga, duduk
di atas 'arasy, tertawa dan sebagainya. Dengan menolak ta'wil,
mereka telah mematikan telaah filosofis. Filsafat bukan saja
dijauhi, tetapi juga dikafirkan. Wacana teologi menjadi
gersang.

Kedua, skriptualisme menyingkirkan pengalaman mistikal dari
kehidupan beragama. Kaum sufi, yang mencoba menangkap makna
batiniyah dari nash-nash, dianggap sesat. Praktek-praktek
keagamaan yang tidak secara spesifik ditunjukkan dalam nash,
dianggap bid'ah. Selanjutnya, yang disebut bid'ah adalah apa
saja yang tidak merujuk pada dalil yang telah dipilihnya.
Qunut pada shalat Subuh, membaca dzikir bersama, membaca
shalawat kepada Nabi saw, mengucapkan doa yang tidak ma'tsur,
--dan di Indonesia-- menyelenggarakan upacara tahlilan dan
marhabanan dianggap tidak mengikuti sunnah Rasulullah saw
(dalam bahasa orang awam, tidak ada contohnya dari Nabi saw).
Padahal, saya kira, bukan tidak mengikuti sunnah, tetapi tidak
berdasarkan dalil yang disetujui mereka. Tidak ada maksud saya
--dan bukan tempatnya di sini-- untuk merinci dalil-dalil
orang-orang yang mempraktekkan upacara-upacara agama tersebut.
Dengan menyingkirkan mistisisme, kaum skripturalis telah
menghilangkan pengalaman beragama (religious experiences) yang
emosional. Para pengikutnya tidak lagi "menikmati" agama dan
sebagian mengalami ketidakpuasan rohaniah.

Ketiga, skripturalisme, karena menolak wacana intelektual,
mudah mendorong orang ke arah fanatisme. Madzhab yang lain
akan dianggap menyimpang dari al-Qur'an dan sunnah. Dalam
skala makroskopis, paham ini melahirkan orang-orang yang
wawasannya sempit, tapi merasa faqih. Pada tahap
institusional, orang-orang awam tidak merasa perlu lagi dengan
kehadiran fuqaha. Bukankah segala persoalan dapat diselesaikan
dengan merujuk pada dalil-dalil al-Qur'an dan hadits.
Muncullah para "mujtahid" yang tidak berkualifikasi. Mereka
membentuk kelompok-kelompok, yang memuncak pada fragmentasi
umat.

Keempat, skripturalisme terbukti tidak menjawab berbagai
masalah kontemporer. Salah satu contoh adalah perbincangan
tentang zakat profesi atau pekerjaan-pekerjaan yang tidak
diwajibkan zakat padanya. Sebagian di antara mereka akhirnya
menggunakan qiyas juga, tetapi tanpa aturan yang konsisten.
Sebagian kaum modernis di Indonesia, yang menolak qiyas,
menggunakannya dalam menjelaskan zakat profesi. Ada yang
mengqiyaskan zakat profesi dengan zakat pertanian; zakat emas
dan perak; dan zakat perdagangan.

Terakhir, kelima, skripturalisme tidak dapat menyelesaikan
kemusykilan-kemusykilan yang terjadi ketika melakukan istidlal
(memberikan dalil-dalil hukum) dari nash-nash. Al-masail
al-lafzhiyah --seperti makna lughawi, makna 'urfi (kebiasaan),
makna haqiqi dan majazi, makna 'am dan khash dan sebagainya;
mukhtalaf al-hadits; penentuan keshahihan hadits; qawaid ushul
al-fiqh dan masalah-masalah lain yang berkaitan dengan
penafsiran nash tidak mendapat perhatian.

Akibat kegagalan skripturalisme tersebut, orang tidak
memberikan solusi terhadap segala kemusykilan ini. Tulisan ini
hanya ingin mengingatkan kita akan pentingnya penilaian kritis
terhadap pendekatan pada fiqh. Kritik terhadap skripturalisme
sama sekali tidak dimaksudkan untuk membela liberalisme. Pada
gilirannya, liberalisme juga sangat rentan terhadap berbagai
problem. Melalui studi kritis terhadap keduanya, kita dapat
merumuskan kaidah-kaidah baru dalam menegakkan fiqh yang lebih
relevan dan signifikan.

6. FIQH KAUM PEMBARU: MADZHAB LIBERALISME

Seperti telah disebut di atas, para pembaru mencoba mendobrak
stagnasi dengan melakukan salah satu di antara dua pilihan.
Mereka kembali secara ketat pada teks-teks al-Qur'an dan
al-hadits atau mereka berusaha menemukan ruh atau semangat
dari ajaran al-Qur'an dan al-hadits. Yang pertama kita sebut
skripturalisme (sudah dibicarakan) dan kedua, karena berusaha
secara bebas untuk menggunakan penalaran, kita sebut
liberalisme. Walaupun saya tidak akan membahas pokok-pokok
pikiran kaum liberal Islam seperti yang dipaparkan Leonard
Binder, saya akan mengutip deskripsinya tentang kaum liberalis
Islam.

For Islamic liberals, the language of the Qur'an is coordinate
with the essence of revelation, but the content and the
meaning of revelation is not essentially verbal. Since the
words of the Qur'an do not exhaust the meaning of revelation,
there is a need for an effort at understanding which is based
on the words, but which goes beyond them, seeking that which
is represented or revealed by language.

Jadi ciri khas kaum liberalis ialah upaya untuk menangkap
esensi wahyu; makna wahyu di luar arti lahiriah dari
kata-kata. Mereka bersedia meninggalkan makna lahir dari teks
untuk menemakan makna dalam dari konteks. Di bawah ini saya
akan mengulangi lagi akar pemikiran kaum liberalis dengan
mengutip apa yang pernah saya tulis pada pengantar buku Islam
dan tantangan Modernitas. Setelah itu, secara khusus kita akan
mengambil contoh pemikiran Ibrahim Hosen dan Fazlur Rahman
untuk menggambarkan pokok-pokok pemikiran kaum liberalis.
Seperti biasa, pada akhirnya saya akan mengajukan kritik.

SEJARAH MADZHAB LIBERALISME

Fiqh kaum liberal dapat dilacak pada madzhab ahl al-ra'y di
kalangan para sahabat Nabi. Fiqh al-ra'y sebenarnya sejajar
dengan tafsir al-Qur'an bi al-dirayat, tapi kaum liberalis
modern justru mengambil inspirasi dari tafsir bi al-ma'tsur.
Karena itu, sesudah mengutip sejarah ijtihad bi al-ra'y saya
akan mengutip juga perkembangan tafsir bi al-ma'tsur.

TRADISI IJTIHAD BI 'L-RA'Y

Ketika [brahim Hosen berbicara tentang ta'aqquli dan
ta'abbudi, dan ketika Rahman mengulas pemikiran modernis dan
fundamentalis, keduanya menggaungkan kembali perbedaan
pendapat para sahabat tentang sunnah Rasullah saw. Apakah Nabi
Muhammad saw berijtihad? Banyak para sahabat membagi
perintah-perintah Nabi ke dalam dua bagian. Yaitu yang
berhubungan dengan ibadah ritual (kelak disebut huquq Allah)
dan yang berhubungan dengan masalah-masalah sosial (kelak
disebut huquq al-'ibad). Mereka menerima yang pertama secara
ta'abbudi, dan yang kedua secara ta'aqquli. Pada bagian kedua,
Rasulullah saw sering berijtihad; ijtihadnya boleh jadi benar
atau salah. Karena itu, di sini para sahabat tidak merasa
terikat dengan sunnah. Bukankah Nabi mengatakan, "Kamu lebih
tahu urusan duniamu?"

Bukhari meriwayatkan peristiwa yang oleh Ibn 'Abbas disebut
sebagai "tragedi hari Kamis". Dalam keadaan sakit, Nabi
menyuruh sahabatnya mengambil dawat dan pena untuk menuliskan
wasiatnya. "Dengan ini kalian tidak akan sesat selamanya"'
kata Nabi. Umar berkata, "Nabi saw dalam keadaan sakit parah.
Di tangan kalian ada kitab Allah. Cukuplah buat kita kitab
Allah itu." Tampaknya Umar berpendapat bahwa kondisi sakit
Nabi melahirkan ijtihad Nabi yang tidak perlu diikuti.

Para ahli hadits meriwayatkan berbagai peristiwa ketika
ijtihad Nabi berbeda dengan ijtihad 'Umar; dan Allah
membenarkan ijtihad 'Umar. Nabi menginginkan agar para tawanan
Badar dibebaskan dengan tebusan, sedangkan 'Umar mengusulkan
untuk membunuh mereka. Nabi hendak menshalatkan 'Abdullah ibn
Ubayy, tapi Umar melarangnya. Dalam kasus-kasus ini, wahyu
selalu turun membenarkan Umar. Diriwayatkan bahwa Nabi saw,
disertai Abu Bakar pernah menangis terisak-isak menyesali
kekeliruan ijtihadnya. 'Umar bertanya: "Apa yang menyebabkan
Anda dan sahabat Anda menangis? Kalau ada sesuatu yang patut
aku tangisi, aku akan menangis. Kalau tidak ada tangisan, aku
akan berupaya menangis seperti tangisan Anda." Nabi kemudian
menceritakan tentang wahyu yang membenarkan Umar dan
menyalahkan Nabi. "Seandainya azab turun," kata Nabi, "tidak
akan ada yang selamat kecuali Umar ibn Khaththab."

Hadits-hadits di atas --walaupun keabsahannya harus kita
teliti secara kritis-- merupakan justifikasi terhadap peluang
menggunakan ra'yu dalam menghadapi sunnah (yang berasal dari
Ijtihad Nabi). Ketika Abu Bakar dan Umar meninggalkan pasukan
Usamah, padahal Nabi memerintahkan mereka untuk berada di
dalamnya, Ibn Abi al-Hadid membenarkan kedua sahabat itu.
"Sesungguhnya Nabi saw mengirimkan pasukan itu berdasarkan
Ijtihad dan bukan berdasarkan wahyu yang diharamkan
membantahnya."

Karena Umar adalah primadona dari kelompok pertama para
sahabat ini, kemudian kita pun menyebut madzhab pemikiran
mereka sebagai madzhab Umari. Sebagai lawan mereka --dalam
pemikiran-- adalah madzhab Alawi, yang terdiri atas
sahabat-sahabat yang berkumpul di sekitar Ali ibn Abi Thalib.
Mereka tidak membedakan huquq al-'ibad dan huquq Allah dalam
instruksi-instruksi Nabi yang bernilai tasyri'. Tidak ada
ijtihad Nabi. "Ia tidak berbicara berdasarkan hawa nafsunya,
tetapi ia hanya berbicara berdasarkan wahyu yang diturunkan
kepadanya." (QS 53:3).

Ketika Umar dan Utsman --pada zamannya masing-masing melarang
haji tamattu" Ali menentangnya. Ibn Katsir, dalam kitab
tarikhnya, menulis: "Para sahabat r.a. sangat takut kepada
Umar dan tidak menemukan orang yang melawan pendapat Umar
kecuali Ali ibn Abi Thalib, yang berkata: "Barang siapa
melakukan tamattu', ia sudah menjalankan kitab Allah dan
sunnah NabiNya." Ketika Ali menegur Utsman yang melarang
tamattu', Utsman berkata: "Aku tidak melarangnya. Ini hanyalah
ra'yu yang aku pegang. Kalau orang mau, silakan ambil
ra'yu-ku. Kalau tidak, tinggalkan saja."

Umar juga diriwayatkan berkata: "Inilah ra'yu Umar. Kalau
benar, dari Allah dan kalau salah, dari Umar." Abdullah ibn
Mas'ud berkata seperti itu juga: "Aku mengatakan ini dengan
ra'yuku. Bila benar, ia berasal dari Allah dan bila salah ia
berasal dari setan. Allah dan Rasul-Nya terlepas darinya."
Para tabi'in dari Kufah kelak berguru kepada Abdullah ibn
Mas'ud, sehingga lahirlah mazhab Kufah yang menitik-beratkan
Fiqh al-ra'y. Sementera itu, Ali tetap tinggal di Madinah,
sebelum ia memindahkan ibu kota ke Kufah pada masa
kekhalifahannya. Ketika Utsman melarang menggabungkan haji
dengan 'umrah, ia menegur Ali: "Kau lakukan itu padahal aku
melarangnya?" Ali menjawab: "Aku tidak akan meninggalkan
sunnah Rasulullah saw karena (ra'yu) salah seorang manusia."
Kita pun kemudian mengetahui bahwa di Madinah, daerah Hijaz,
berkembanglah madzhab Hijaz, yang menekankan Fiqh al-atsar.

Fiqh al-ra'y makin diperteguh dengan kecenderungan umum
madzhab Umari untuk mengabaikan penulisan hadits. 'Aisyah
melaporkan: "Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits Nabi saw.
Pada suatu pagi, ia datang menemuiku dan berkata, "ambilkan
hadits-hadits yang ada padamu." Lalu saya berikan kepadanya.
Ia membakarnya dan berkata: "Saya khawatir, saya mati, dan
meninggalkan hadits-hadits itu padamu." Abu Bakar juga pernah
mengumpulkan orang setelah Nabi wafat, dan berkata: "Kalian
meriwayatkan dari Rasulullah saw. hadits-hadits yang kalian
perselisihkan. Nanti, manusia sesudahmu akan lebih daripada
itu. Janganlah meriwayatkan sesuatu pun dari Rasulullah saw.
Bila ada yang bertanya kepada kalian, jawablah: "Di antara
Anda dan kami ada Kitab Allah, halalkan yang halal dan
haramkan yang haram.". Walaupun begitu, periwayatan hadits
tetap berlangsung sampai zaman Umar. Umar menyuruh
mengumpulkan hadits-hadits itu dan memerintahkan untuk
membakarnya. Alasan Umar: "Aku khawatir hadits-hadits itu akan
memalingkan orang dari Kitab Allah."

Tradisi pengabaian penulisan hadits --dan sekaligus
pembakarannya-- dilanjutkan oleh tabi'in. Rasul Ja'farian
menyebutkan nama-nama ulama tabi'in yang melarang penulisan
hadits, yaitu, Abu Burdah, Ashim, Abu Sa'id, Sa'id ibn Jubair,
Ibrahim al-Nakha'i, dan lain-lain. Al-Hasan ibn Abi al-Hasan
--menjelang kematiannya-- memerintahkan pembantunya untuk
menyalakan api pembakaran. Ke dalamnya, ia lemparkan semua
tulisan, kecuali satu buku saja. Akibatnya, khusus di kalangan
ahl al-Sunnah, penulisan hadits terlambat sekitar dua abad.
Konon, yang pertama kali melakukan tadwin hadits adalah Ibn
Syihab al-Zahri atas perintah Umar ibn Abd al-Aziz.

Sejarah singkat madzhab 'Umari ini menunjukkan tiga ciri
khasnya: (1) madzhab ini memusatkan perhatian utamanya --dan
seringkali dengan mengabaikan yang lain-- kepada al-Qur'an.
"Hasbuna Kitab Allah," kata Umar; (2) madzhab ini mengutamakan
ra'yu ketimbang al-Sunnah; dan (3) madzhab ini menekankan
aspek maqashid syar'iyyah atau kemaslahatan umat untuk
menetapkan hukum, dan kurang terikat pada zhawahir (makna
tekstual) dan nash. Untuk menangkis tuduhan bahwa Umar sering
meninggalkan nash-nash al-Qur'an secara sengaja, Abu Zahrah
menulis: "Tidak seorang sahabat pun meninggalkan nash demi
ra'yunya atau kemaslahatan yang dipandangnya. Sesungguhnya
maslahat yang difatwakan sahabat tidak bertentangan dengan
nash, tetapi mengaplikasikan nash secara baik, berdasarkan
pemahaman yang benar akan maksud-maksud syara'.

Di kalangan madzhab-madzhab ahl al-Sunnah, fiqh al-ra'y dan
fiqh al-atsar ini tidak terpilah tegas, tetapi membentuk
kontinum. Madzhab-madzhab itu berbeda dalam intensitas
penggunaan nash dan ra'yu. Ali Yafie melukiskannya sebagai
lingkaran-lingkaran: "Lingkaran paling dalam (pertama)
merupakan kelompok yang paling sedikit menggunakan ra'yunya.
Prinsip mereka dalam pengambilan hukum, tak memperkenankan
penggunaan akal. Kaidah mereka: la ra'yu fi al-din (tidak ada
tempat rasio dalam agama). Madzhab yang menggunakan kaidah
semacam ini disebut madzhab al-Zhahiri, karena diprakarsai
Dawud al-Zhahiri yang dilanjutkan Ibn Hazm dalam kitabnya
al-Muhalla. Disadari atau tidak, madzhab ini sebenarnya juga
menggunakan rasio. Hanya intensitas penggunaannya sangat
sedikit.

------------
Jalaluddin Rahmat, dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam
Sejarah". Editor : Buddy Munawar Rahman