Senin, 25 Agustus 2008

Ironi Puasa

Bulan Ramadlan tinggal beberapa hari lagi akan kita jalani. Mudah-mudahan kita termasuk golongan yang menyambut kedatangannya dengan riang gembira, karena orang-orang yang termasuk golongan ini adalah salah satu dari golongan yang akan merasakan manisnya surga di akhirat kelak. Amin. Sejenak kita bertafakur tentang puasa-puasa yang telah kita lalui pada tahun-tahun sebelumnya, berupaya mencari kekurangan puasa kita sambil mengupayakan apa kelebihan yang perlu kita pertahankan.

Secara etimologi puasa/shiyam adalah "imsak" (menhaan). Dalam terminologi fiqih, puasa berarti menahan diri dari makan, minum dan hal-hal lain yang membatalkan puasa, mulai dari fajar shubuh hingga terbenam fajar (maghrib) Dalam terminologi kultural, puasa sering dimaknakan sebagai satu bentuk aktifitas yang berupaya mengekang hawa nafsu/keinginan fisik dan duniawiyah yang berlebihan. Karena inilah, dalam kontek kultural ini puasa sebenarnya sudah dikenal sejak masa sebelum Islam dan bahkan sudah menjadi bagian dari budaya-budaya spritual ajaran-ajaran non muslim.

Secara umum ibadah puasa memiliki makna sebagai bentuk ibadah yang mengharapkan subyek pelakunya mampu menahan keinginan dan nafsu jasmani duniawiyah nya secara berlebihan. Bentuk penahanan paling mendasar adalah dari kebutuhan dasar jasmani/badaniyah yaitu makan, minum, dan seks. Namun sekali lagi, ini adalah hal yang paling mendasar, dengan dasar tujuan -sekedar- memnuhi standar syar'iyah fiqhiah.
Harus di ingat, bahwa setiap amal ibadah yang diperintahkan oleh Allah SWT selalu memiliki tujuan-tujuan syar'iyyah (maqasid al-Syar'iyah) tertentu, dan standar kompetensi dan ketuntasan ibadah. Seperti halnya orang yang melakukan Sholat, bisa jadi dalam standar fiqhiyah ia telah tuntas, namun dalam standar kompetensi syar'iyah yang diharapkan ia belum mencapai ketuntasan. Karena sholatnya belum mampu membuat ia "tanha 'anil fahsya wal munkar". Istilah kerennya ; Sholat ok, maksiat jalan terus !.
Singkatnya, kalau puasa memiliki standar ketuntasan ibadah agar pelakunya mampu memiliki "ketahanan" untuk mengekang dari mengumbar nafsu serta sikap konsumerisme, maka orang yang hanya mampu menahan kebutuhan makan, minum dan seks semata belum bisa dikatakan telah tuntas dalam syariat puasa ini.

Pada sisi inilah kita bisa menemukan "Ironi Puasa" di sekitar kita. Ada kebohongan masal yang bisa kita saksikan setiap datang bulan Ramadlan. Meida dengan acara-acara relgiusnya, artis-artis yang berubah 180 derajat menjadi begitu islami, dan yang lebih parah adalah meningkat tajamnya sikap hidup konsumtif umat Islam. Melonjaknya harga kebutuhan pokok setiap menjelang Ramadlan menjadi bukti yang paling sederhana, bahwa sikap konsumtif kita semakin melonjak ketika datang bulan Ramadlan. Karena harga kebutuhan biasanya dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan konsumen.

Satu sisi, puasa mengharapkan pelakunya untuk bisa menahan diri, bersahaja, dan mengekang agar tidak mengumbar keinginannya terhadap kebutuhan-kebutuhan duniawi, namun di sisi lain, kebutuhan belanja kita biasanya semakin meningkat dengan datangnya bulan Ramadlan. Bisa dikatakan, hal ini bukan saja belum memiliki ketuntasan syariat puasa, tapi lebih jauh tidak sesuai dengan standar kompetensi syariat puasa itu sendiri.

Melihat kondisi ini, kalau kita memakai istilah Al-Ghazali, maka puasa kita bukan saja belum mencapai tingkatan khowas -apalagi khowasul khowas, bahkan untuk dikatakan puasa awam saja sebenarnya belum layak. karena bukan saja kita baru bisa memenuhi standar fiqhiyah paling dasar dalam puasa, tapi justeru yang lebih parah dalam pemenuhan standar inipun kita memiliki banyak ironi.

Wallahu a'lam

Tidak ada komentar: