1. FIQH AL-KHULAFA' AL-RASYIDIN: FIQH PENGUASA
Seorang laki-laki datang menemui 'Umar bin Khathab: "Saya
dalam keadaan junub dan tidak ada air." Maksud kedatangannya
untuk menanyakan apakah ia harus shalat atau tidak.
'Umar menjawab, "Jangan shalat sampai engkau mendapatkan air."
'Ammar bin Yasir berkata pada 'Umar bin Khathab: "Tidakkah
Anda ingat. Dulu --engkau dan aku-- pernah berada dalam
perjalanan. Kita dalam keadaan junub. Engkau tidak shalat,
sedangkan aku berguling-guling di atas tanah. Aku sampaikan
kejadian ini kepada Rasulullah saw. Dan Nabi berkata, cukuplah
bagi kamu berbuat demikian."
Mendengar demikian Umar menegur 'Ammar: "Ya Ammar, takutlah
pada Allah", Kata Ammar, "Ya Amir al-Mu'minin, jika engkau
inginkan, aku tidak akan menceritakan hadits ini selama engkau
hidup." [1]
"Yang dimaksud Ammar," kata Ibn Hajar, [2] "Aku melihat memang
lebih baik tidak meriwayatkan hadits ini ketimbang
meriwayatkannya Aku setuju denganmu, dan menahan diriku. Toh,
aku sudah menyampaikannya, sehingga aku tidak bersalah."
Sejak itu, 'Ammar tidak meriwayatkan peristiwa itu lagi. 'Umar
tetap berpegang teguh pada pendapatnya -- orang junub, bila
tidak ada air, tidak perlu shalat. "Wa hadza madzab masyhur
'an 'Umar," kata Ibn Hajar. Semua sahabat menolak pendapat
Umar, kecuali Abdullah bin Mas'ud. Al-Bukhari mencatat
perdebatan Abdullah bin Mas'ud dengan Abu Musa al-Asy'ari
tentang kasus ini pada hadits No. 247. Abu Musa menentang
pendapat Abdullah --sekaligus madzhab Umar-- dengan mengutip
ayat ("jika kalian tak mendapatkan air hendaklah tayamum
dengan tanah yang baik"). Menarik untuk dicatat bahwa kelak
dengan merujuk ayat yang sama, mazhab Hanafi melanjutkan
mazhab 'Umar.
Lebih menarik lagi untuk kita catat adalah beberapa pelajaran
dari riwayat di atas. Pertama, memang terjadi perbedaan paham
di antara sahabat dalam masalah fiqhiyah Kedua, lewat
kekuasaan, 'Umar menghendaki pembakuan paham dan mengeliminasi
pendapat yang berlainan. Ketiga, terlihat ada sikap
hiperkritis dalam menerima atau menyampaikan riwayat Dan
keempat, perbedaan di antara para sahabat berpengaruh besar
pada ikhtilaf kaum Muslim pada abad-abad berikutnya
Karena itu membicarakan fiqh para sahabat menjadi sangat
penting sebagai pijakan bagi pembahasan masalah fiqh mutakhir.
Saya akan memulai makalah ini dengan membahas urgensi fiqh
sahabat dalam keseluruhan pemikiran fiqhiyah. Setelah itu,
saya akan menjelaskan sebab-musabab timbulnya ikhtilaf fiqh di
antara para sahabat, karakteristik fiqh sahabat, dan
contoh-contoh fiqh al-khulafa al-rasyidin.
URGENSI FIQH SAHABAT
Fiqh shahabi memperoleh kedudukan yang sangat penting dalam
khazanah pemikiran Islam. Pertama, sahabat --sebagaimana
didefinisikan ahli hadits-- adalah orang yang berjumpa dengan
Rasulullah saw dan meninggal dunia sebagai orang Islam. [3]
Dari makalah kita mengenal sunnah Rasulullah, karena itu, dari
mereka juga kita mewarisi ikhtilaf di kalangan kaum Muslim.
Kedua, zaman sahabat adalah zaman segera setelah berakhirnya
masa tasyri'. Inilah embrio ilmu fiqh yang pertama. Bila pada
zaman tasyri' orang memverifikasi pemahaman agamanya atau
mengakhiri perbedaan pendapat dengan merujuk pada Rasulullah,
pada zaman sahabat rujukan itu adalah diri sendiri. Sementara
itu, perluasan kekuasaan Islam dan interaksi antara Islam
dengan peradaban-peradaban lain menimbulkan masalah-masalah
baru. Dan para sahabat merespon situasi ini dengan
mengembangkan fiqh (pemahaman) mereka. Ketika menceritakan
ijtihad pada zaman sahabat, Abu Zahrah menulis: [4]
Di antara sahabat ada yang berijtihad dalam batas-batas
al-Kitab dan al-Sunnah, dan tidak melewatinya; ada pula
yang berijtihad dengan ra'yu bila tidak ada nash, dan
bentuk ra'yu-nya bermacam-macam; ada yang berijtihad
dengan qiyas seperti Abdullah bin Mas'ud; dan ada yang
berijtihad dengan metode mashlahat, bila tidak ada nash.
Dengan demikian, zaman sahabat juga melahirkan prinsip-prinsip
umum dalam mengambil keputusan hukum (istinbath; al-hukm.);
yang nanti diformulasikan dalam kaidah-kaidah ushul fiqh.
Ketiga, ijtihad para sahabat menjadi rujukan yang harus
diamalkan, perilaku mereka menjadi sunnah yang diikuti.
Al-Syathibi [5] menulis, "Sunnah sahabat r.a. adalah sunnah
yang harus diamalkan dan dijadikan rujukan." Dalam
perkembangan ilmu fiqh, madzhab sahabat --sebagai ucapan dan
perilaku yang keluar dari para sahabat-- akhirnya menjadi
salah satu sumber hukum Islam di samping istihsan, qiyas,
mashalih mursalah dan sebagainya. Madzhab sahabat pun menjadi
hujjah. Tentang hal ini, ulama berbeda pendapat. Sebagian
menganggaprlya sebagai hujjah mutlak; sebagian lagi sebagai
hujjah bila bertentangan dengan qiyas; sebagian lainnya hanya
menganggap hujjah pada pendapat Abu Bakar dan Umar saja,
berdasarkan hadits ("berpeganglah pada dua orang sesudahku,
yakni Abu Bakar dan Umar"); dan sebagian yang lain,
berpendapat bahwa yang menjadi hujjah hanyalah kesepakatan
khulafa' al-Rasyidin. [6]
Terakhir keempat, ini yang terpenting, ahl al-Sunnah sepakat
menetapkan bahwa seluruh sallabat adalah baik (al-shahabiy
kulluhum 'udul). Mereka tak boleh dikritik, dipersalahkan,
atau dinilai sebagaimana perawi hadits lain. Imam ahli jarh
dan ta'dil, Abu Hatim al-Razi dalam pengantar kitabnya
menulis: [7]
Adapun sahabat Rasulullah saw, mereka adalah orang-orang
yang menyaksikan turunnya wahyu, mengetahui tafsir dar
ta'wil, yang dipilih Allah untuk- menemani Nabi-Nya, untuk
menolongnya, menegakkan agamanya, memenangkan ke
benarannya... Allah memuliakan mereka dengan karunia-Nya
menempatkan kedudukan mereka pada tempat ikutan. Mereka
dibersikkan dari keraguan, dusta, kekeliruan, keraguan
kesombongan, dan celaan. Allah menamai mereka sebagai
'udul al-ummah (umat yang paling bersih)... Merekalah
'udul al-ummah, pemimpin-pemimpin hidayah, hujjah agama,
dan pembawa al-Qur'an dan al-'Sunnah.
Karena posisi sahabat begitu istimewa, maka tidak mengherankan
bila mazhab sahabat menjadi rujukan penting bagi perkembangan
fiqh Islam sepanjang sejarah. Tentu saja, menurut kesepakatan
ahl al-sunnah, di antara para sahabat itu yang paling penting
adalah khulafa al-rasyidun. Bila mereka sepakat, pendapat
mereka dapat membantu memecahkan masalah fiqh; bila mereka
ikhtilaf, mazhab sahabat menimbulkan kemusykilan yang sulit
diatasi. Lalu mengapa mereka ikhtilaf?
PENYEBAB IKHTILAF DI KALANGAN SAHABAT
Salah satu sebab utama ikhtilaf di antara para sahabat adalah
prosedur penetapan hukum untuk masalah-masalah baru yang tidak
terjadi pada zaman Rasulullah saw. Sementara itu, setelah
Rasulullah wafat, putuslah masa tasyi'. Menghadapi
masalah-masalah baru itu, muncul dua pandangan. [8]
Kelompok pertama memandang bahwa otoritas untuk menetapkan
hukum-hukum Tuhan dan menjelaskan makna al-Qur'an setelah
Rasulullah wafat dipegang ahl al-Bait. Hanya merekalah,
menurut nash dari Rasul, yang harus dirujuk untuk
menyelesaikan masalah-masalah dan menetapkan hukum-hukum
Allah. Kelompok ini tidak mengalami kesulitan dalam masa
berhentinya wahyu, karena mereka tahu betul --tugas mereka
adalah mengacu pada Ma'shumun.
Kelompok kedua memandang tidak ada orang tertentu yang
ditunjuk rasul untuk menafsirkan dan menetapkan perintah
Ilahi. Al-Qur'an dan al-Sunnah adalah sumber untuk menarik
hukum-hukum berkenaan dengan masalah-masalah yang timbul di
masyarakat. Kelompok ini --kelak disebut Ahl al-Sunnah--
ternyata tidak mudah mengambil hukum dari nash, karena banyak
hal tak terjawab oleh nash. Mereka akhirnya menggunakan
metode-metode ijtidah seperti qiyas atau istihsan.
Semua Khalifah al-Rasyidin termasuk kelompok kedua, kecuali
Ali bin Abi Thalib. Kelompok kedua lebih banyak menggunakan
ra'yu, dan kelompok pertama lebih banyak merujuk nash.
Kelompok kedua banyak menggunakan dalil aqly, kelompok pertama
dalil naqli. Umar pernah melarang hajji tamattu', padahal
al-Qur'an dan al-Sunnah sangat tegas menetapkannya. Ketika
Utsman juga melarangnya, Ali secara demonstratif melakukannya
di depan Utsman. Kata Utsman: Aku melarang manusia melakukan
tamattu, dan engkau sendiri melakukannya. Ali menjawab: Aku
tak akan meninggalkan sunnah Rasulullah saw. hanya karena
pendapat seseorang. [9] Setelah perdebatan ini, menurut
riwayat lain dari Abdullah bin Zubair, Utsman berkata:
Sesungguhnya laranganku itu hanya ra'yuku saja. Siapa yang mau
boleh menjalankannya; siapa yang tak mau boleh
meninggalkannya. [10]
Contoh lainnya adalah hukuman dera bagi peminum khamr.
Rasulullah saw. menderanya 40 kali. [11] Umar --atas saran Abd
al-Rahman bin Auf menderanya 80 kali. Ali kembali menderanya
40 kali. Rasulullah saw. menetapkan thalaq tiga dalam satu
majlis itu dihitung satu. [12] Begitu pula Ali. Umar
menetapkan thalaq tiga itu jatuh tiga sekaligus. Umar
memutuskan hukuman rajam bagi orang gila yang berzina. Ali
membebaskan hukum itu berdasarkan hadits. [13]
Bila contoh-contoh tadi berkenaan dengan perbedaan antara
ketetapan nash dengan ra'yu, contoh-contoh berikut menunjukkan
perbedaan memahami nash. Kata quru dalam wal muthalaqatu
yatarabbashna bi anfusihim tsalatsatu quru' diartikan
berbeda-beda. Abdullah bin Mas'ud dan Umar mengartikan "quru"
itu haidh. Zaid ibn Tsabit mengartikannya masa bersuci di
antara haidh dengan haidh lagi. [14] Ibn Umar menafsirkan
"al-muhshanat dalam ayat wa al muhshanat min alladzina utu
al-kitab sebagai wanita Muslim, karena itu Ibn Umar
mengharamkan wanita ahli kitab dinikahi laki-laki Muslim. Ibn
'Abbas menganggap ayat itu sebagai pengecualian (takhshish)
dari ayat wa la tankihu al-musyrikat hatta yu'minna. Utsman
tampaknya sependapat dengan Ibn 'Abbas, karena ia menikah
dengan Nailah, wanita Nashrani, dan Thalhah menikahi wanita
Yahudi dari Syam. [15]
Kadang-kadang ikhtilaf terjadi di antara para sahabat karena
perbedaan pengetahuan yang mereka miiiki. Sebagian sahabat,
misalnya, mengetahui nash tertentu, sebagian lain tidak
mengetahuinya. Umar pernah menegur orang yang dikiranya salah
ketika membaca QS al-Fath: 26. Ia memarahi orang itu. Tetapi
Umar kemudian dikoreksi Ubayy bin Ka'ab. Kata Ubayy Anda tahu
saya berada di dalam beserta Rasulullah saw. ketika ia membaca
ayat itu. Engkau sendiri berada di pintu... Demi Allah Ya
Umar, sesungguhnya Anda tahu, ketika saya hadir Anda tidak
ada; ketika saya diundang, Anda tidak. [16]
Al-Syaikh Muhammad Muhammad al-Madany menjelaskan salah satu
sebab ikhtilaf yang berkenaan dengan sunnah: [17]
Sahabat Rasulullah saw., yang mengambil sunnah dari
Nabi dan meriwayatkannya, berbeda-beda dalam kemampuan
pengambilannya dan dalam menerima riwayatnya.
Rasulullah saw. ditanya tentang suatu masalah. Ia
menghukum dengan hukum tertentu memerintahkan atau
melarang sesuatu, melakukan atau tidak melakukan
sesuatu. Yang hadir waktu itu dapat menyimpan peristiwa
itu, yang tidak hadir tentu tidak mengetahuinya. Ketika
Rasulullah saw. wafat, bertebaranlah sahabat di
negeri-negeri, dan setiap penduduk negeri mengambil
dari sahabat yang ada di negeri mereka. Berkata Ibn
Hazm: "Orang Madinah hadir pada tempat yang tidak
dihadiri orang Basrah, orang Basrah menghadiri tempat
yang tidak dihadiri orang Syam; orang Syam hadir di
tempat yang tidak dihadiri orang Basrah; orang Basrah
menghadiri yang tidak dihadiri orang Kufah; orang Kufah
hadir di tempat yang tidak dihadiri orang Madinah. Ini
semua terjadi dalam hadits, dan pada saat kita
memerlukan informasi. Padahal --seperti telah kita
jelaskan--sebagian sahabat pada sebagian waktu tidak
hadir di majelis Rasulullah saw., sedangkan sebagian
lagi hadir. Setiap orang hanya mcngetahui apa yang ia
saksikan, dan tidak mengetahui apa yang tidak ia
hadiri. Ini jelas menurut akal. 'Amar dan yang lain
mengetahui tentang tayamum, Umar dan Ibn Mas'ud tidak
mengetahuinya, sehingga mereka berkata: Orang junub
tidak tayamum, walau pun tidak menemukan air selama dua
bulan. Ali Hudzaifah al-Yamani dan lain-lain mengetahui
hukum mengusap tetapi 'Aisyah, Ibn 'Umar, Abu Hurairah
tidak mengetahuinya walaupun mereka penduduk Madinah.
Anak perempuan dari anak beserta anak perempuan
mendapat waris diketahui Ibn Mas'ud tetapi tidak
diketahui Abu Musa.
Marilah kita berikan satu contoh lagi yang lebih ilustratif.
Ketika orang sedang berkumpul di hadapan Umar bin Khathab,
masuklah seorang laki-laki: "Ya Amir al-Mu'minin, ini Zaid bin
Tsabit berfatwa di masjid dengan ra'yunya berkenaan dengan
mandi janabah." Kata Umar: "Panggil dia!" Zaid pun datang dan
Umar berkata: "Hai musuh dirinya sendiri!, aku dengar kau
berfatwa pada manusia dengan ra'yumu sendiri? Kata Zaid: "Ya
Amir al-Mu'minin. Aku tidak melakukan itu. Tetapi aku
mendengar hadits dari paman-pamanku, lalu aku sampaikan -- dan
Abi Ayyub dari Ubbay bin Ka'ab," dari Rifa'ah bin Rafi'. Kata
Umar: "Panggil Rafa'ah bin Rafi'. Ia berkata: "Apakah kalian
berbuat demikian - bila kalian bercampur dengan isteri kalian
dan tidak keluar air mani kalian mandi?" Kata Rafa'ah: "Kami
melakukan begitu pada zaman Rasulullah saw. Tidak turun ayat
yang mengharamkan. Tidak juga ada larangan dari Rasulullah
saw." Kata Umar: "Apakah Rasulullah saw. mengetahuinya?" Kata
Rafa'ah: "Tidak tahu." Lalu Umar mengumpulkan Muhajirin dan
Anshar, lalu bermusyawarah. Semua orang berkata tidak perlu
mandi, kecuali Ali dan Mu'adz. Keduanya berkata: "Jika kedua
khitan bertemu, wajib mandi." Kata Umar: "Kalian
sahabat-sahabat yang ikut Badr sudah ikhtilaf, apalagi
orang-orang setelah kalian!" Kata Ali, Ya Amir al-Mu'minin:
"tidak ada orang yang lebih tahu dalam hal ini kecuali isteri
Rasulullah saw. Ia mengutus orang bertanya pada Hafshah.
Hafshah tidak tahu. 'Aisyah ditanya. Kata 'Aisyah: "Bila
khitan sudah bertemu khitan, wajib mandi." Kata Umar: "Bila
ada lagi orang berfatwa bahwa tidak wajib mandi kalau tidak
keluar, aku akan pukul dia." [18]
Dalam kasus yang baru kita ceritakan, ikhtilaf di antara para
sahabat dapat diselesaikan oleh khalifah. Khalifah bahkan
menetapkan sangsi bagi orang yang mempunyai pendapat berbeda.
Dalam kasus-kasus yang lain, ikhtilaf di antara para sahabat
itu dibiarkan dan diwariskan kepada generasi berikutnya. Buat
orang-orang sektarian, ikhtilaf para sahabat ini menjadi
sumber perpecahan. Buat orang yang berjiwa terbuka, ikhtilaf
ini adalah assets bagi perkembangan pemikiran. 'Umar bin Abd
al-'Aziz, tokoh ukhuwah Islamiyah yang menghentikan kutukan
pada Ali di mimbar, berkata: "Aku tidak senang kalau sahabat
Nabi tidak ikhtilaf. Seandainya pendapat mereka itu tunggal,
sempitlah manusia dibuatnya. Mereka adalah teladan yang
diikuti. Jika kita mengambil dari siapa saja di antara mereka,
jadilah itu sunnah. Artinya, mereka membuka pintu ijtihad bagi
manusia. Mereka boleh ikhtilaf, karena bila mereka tidak
membukanya, para mujtahid berada dalam kesempitan. Allah
memberikan keluasan pada umat dengan adanya ikhtilaf furu'i di
antara mereka. Dengan begitu, ia membuka umat untuk memasuki
Rahmat-Nya." [19]
KARAKTERISTIK FIQH SAHABAT
Seperti telah disebutkan di muka, dari segi prosedur penetapan
hukum, ada dua cara yang dilakukan para sahabat. Kedua cara
ini melahirkan dua mazhab besar di kalangan sahabat -- Madzhab
'Alawi dan Madzhab 'Umari yang akhirnya mewariskan kepada kita
sekarang sebagai Syi'ah dan ahli Sunnah. Para sahabat --
seperti Miqdad, Abu Dzar, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah dan
sebagian besar Bani Hasyim -- merujuk pada ahl al-Bait dalam
menghadapi masalah-masalah baru. Mereka berpendapat bahwa ada
dua nash yang dengan tegas menyuruh kaum Muslim berpegang
teguh pada pimpinan ahl-al-Bait. Lagi pula, menurut mereka,
pendapat seseorang menjadi hujjah bila orang itu ma'shum. Ah
al-Bait memiliki kema'shuman berdasarkan nash al-Qur'an dan
al-Sunnah. [30]
Pada bagian ini, saya tak akan membicarakan kelompok sahabat
ini, tapi akan memutuskan perhatian pada metode ijtihad
kelompok sahabat yang tak merujuk ahl al-Bait. Menurut
Muhammad al-Khudlari Bek, fiqh mereka ini hanya terbatas pada
qiyas. Menurut Muhammad Salim Madkur, ijtihad mereka
menggunakan tiga metode: a) menjelaskan dan menafsirkan nash;
b) qiyas pada nash atau pada ijma', dan ijtihad dengan ra'yu
seperti al-Mashalih al-Mursalah dan istihsan. Muhammad Ali
al-Sais menyebutkan bahwa ijtihad sahabat itu meliputi qiyas,
istihsan, al-baraah al-ashliyah, sadd al-dzara'i, al-mashalih
al-mursalah. [21]
Menurut pendapat saya, ada tiga tahap dalam ijtihad para
sahabat: a) merujuk pada nash al-Qur'an dan al-Sunnah b)
menggunakan metode-metode ijtihad seperti qiyas, bila nash
tidak ada atau tidak diketahui; dan c) mencapai kesepakatan
lewat proses perkembangan opini publik yang alamiah.
Pada tahap pertama, para Khulafa al-Rasyidin selain Ali,
tampaknya lebih memusatkan perhatian pada ayat-ayat al-Qur'an
(atau ruh ajaran al-Qur'an) dengan agak mengabaikan
(kadang-kadang menafikan hadits). Di bawah ini saya kutipkan
berbagai riwayat berkenaan dengan sikap Khulafa al-Rasyidin
pada Hadits (sunnah):
1) Dari Ibn Abbas: ketika Nabi menjelang wafat, di rumah
Rasulullah saw., berkumpul orang-orang, di antaranya Umar bin
Khathab. Nabi berkata: "Bawalah ke sini, aku tuliskan bagimu
tulisan yang tidak akan menyesatkanmu selama-lamanya." Umar
berkata: "Nabi sedang dikuasai penyakitnya. Padamu ada Kitab
Allah. Cukuplah bagimu Kitab Allah." Terjadi ikhtilaf di
antara orang-orang di rumah itu. Di antara mereka ada yang
mengikuti ucapan Umar. Ketika terjadi banyak pertengkaran dan
ikhtilaf, Nabi saw. berkata: "Pergilah kamu semua dari aku.
Tidak layak di hadapanku bertengkar." [22]
2) 'Aisyah meriwayatkan: Ayahku telah mengumpulkan 500 hadits
Rasulullah saw. Pada suatu pagi ia datang padaku dan berkata:
"Bawalah hadits-hadits yang ada padamu itu. "Aku membawanya.
Ia membakar dan berkata, "Aku takut jika aku mati aku masih
meninggalkan hadits-hadits ini bersamamu," [23] al-Dzahabi
meriwayatkan bahwa Abu Bakar mengumpulkan orang setelah Nabi
wafat dan berkata; "Kalian meriwayatkan hadits Rasulullah saw.
yang kalian pertengkarkan. Nanti orang-orang setelah kalian
akan lebih bertikai lagi. Janganlah meriwayatkan satu Hadits
pun dari Rasulullah saw. Jika ada yang bertanya kepada kalian,
jawablah -- Di antara Anda dan kami ada Kitab Allah,
halalkanlah apa yang dihalalkannya, dan haramkanlah apa yang
diharamkannya" [24]
3) Al-Zuhri meriwayatkan, Umar ingin menuliskan sunnah-sunnah
Rasulullah saw. Ia memikirkannya selama satu bulan,
mengharapkan bimbingan Allah dalam hal ini. Pada suatu pagi,
ia memutuskan dan menyatakan: "Aku teringat orang-orang
sebelum kalian. Mereka tenggelam dalam tulisan mereka dan
meninggalkan Kitab Allah. [25] Umar kemudian mengumpulkan
hadits-hadits itu dan membakarnya. [26] Ia juga menetapkan
tahanan rumah pada tiga sahabat yang banyak meriwayatkan
hadits: Ibn Mas'ud, Abu Darda, dan Abu Mas'ud al-Anshari."
[27]
Tradisi pelarangan hadits ini dilanjutkan para tabi'in,
sehingga di kalangan ahl al-sunnah, penulisan hadits terlambat
sampai abad 8 M./2 H. Menurut satu riwayat, Umar ibn Abd
al-Aziz (meninggal 719/101) adalah orang yang pertama
menginstruksikan penulisan hadits. [28]
Karakteristik kedua dari ijtihad sahabat, bila tidak ada nash,
menggunakan qiyas atau pertimbangan kepentingan umum. Dalam
beberapa kasus, bahkan pertimbangan kepentingan umum
(maslahat) didahulukan dari nash, walaupun ada nash sharih
(tegas) yang bertentangan dengan itu. Berikut ini
contoh-contohnya.
1. Khalid Muhammad Khalid menulis tentang ijtihad Umar dalam
al-Dimuqrathiyyah: Umar bin Khattab telah meninggalkan
nash-nash agama yang Suci dari al-Qur'an dan al-Sunnah ketika
dituntut kemaslahatan untuk itu. Bila al-Qur'an menetapkan
bagian muallaf dari zakat, serta Rasulullah dan Abu Bakar
melakukannya, Umar datang dan berkata, "Kami tidak memberi
kamu sedikit pun karena Islam." Ketika Rasul dan Abu Bakar
membolehkan penjualan Ummahat al-Awlad, Umar melarangnya.
Ketika talaq tiga dalam satu majelis dihitung satu menurut
Sunnah dan ijma, Umar meninggalkan sunnah dan menyingkirkan
ijma.
Dr. al-Dawalibi menulis hal yang sama dalam 'Ilm Ushul
al-Fiqh: "Di antara kreasi Umar r.a. yang menunjang kaidah
hukum berubah karena perubahan zaman ialah jatuhnya thalaq
tiga dengan satu kalimat; sedangkan di zaman Nabi, Abu Bakar
dan permulaan Khilafah Umar, thalaq tiga pada sekali ucapan
dijadikan satu seperti hadits shahih dari Ibn 'Abbas. Kata
Umar: "Manusia terlalu terburu-buru di tempat yang seharusnya
hati-hati..." Kata Ibn Qayyim, Amir al-Mu'minin Umar bin
Khathab melihat orang telah melecehkan urusan thalaq... Umar
ingin menghukum keteledoran ini, sehingga sahabat menahan
dirinya untuk tidak mudah menjatuhkan thalaq. Umar melihat ini
untuk kemashlahatan umat di zamannya... Ini adalah prinsip
taghayyarat bihi al-fatwa litaghayyur al-zaman." [29]
2. Ketika kelompok muallaf datang menemui Abu Bakar untuk
menuntut surat, mereka datang kepada Umar. Umar merobek surat
itu dan berkata, "Kami tidak memerlukan kalian lagi. Allah
sudah memenangkan Islam dan melepaskan dari kalian. Jika kamu
Islam (baiklah itu), jika tidak pedanglah yang memutuskan
antara kamu dan kami. "Mereka kembali pada Abu Bakar dan
berkata, "Adakah khalifah itu atau dia? "Abu Bakar menjawab,
"Ia, insya Allah. " Lalu berlalulah apa yang diputuskan Umar.
[30]
3. Al-Fujaah pernah menyatakan diri ingin berjihad dan meminta
perbekalan pada Abu Bakar. Abu Bakar memberinya bekal.
Al-Fujaah ternyata menggunakan fasilitas Abu Bakar ini untuk
merampok. Abu Bakar menyuruh Tharifah bin Hajiz untuk
membawanya ke Madinah. Abu Bakar menghukumnya dengan
membakarnya hidup-hidup. [31]
4. Abu Bakar dan Umar tidak memberikan hak khumus dari
keluarga Rasulullah saw., tapi menyalurkan hak itu fi
sabilillah. Mereka berpendapat, setelah Rasulullah saw. wafat,
khalifah yang berhak mengatur pembagian khumus. [32]
5. Utsman bin Affan membolehkan "menikahi" dua orang wanita
bersaudara dari antara budak belian sekaligus. Ali bin Abi
Thalib mengharamkannya. [33] Utsman juga melakukan banyak
"pembaharuan" dalam fiqh Islam: a) mengitmamkan shalat dalam
keadaan safat di Mina; [34] b) menambahkan adzan ketiga pada
hari Jum'at ; [35] c) melarang haji tamattu; [36] d)
membolehkan tidak mandi bagi yang bercampur dengan isterinya
tanpa mengeluarkan mani; [37] e) mengambil zakat dari kuda;
[38] f) mendahulukan khotbah sebelum shalat pada shalat 'id.
[39]
Saya hentikan kutipan kasus-kasus ijtihad Khulafa' al-Rasyidin
di sini. Marilah kita lihat proses perkembangan pemikiran para
sahabat sehubungan dengan sunnah. Menurut Fazlur Rahman, [40]
pada zaman para sahabat, orang secara bebas memberikan
tafsiran pada sunnah Rasulullah saw. Berkembanglah berbagai
penafsiran. Dalam proses free market of ideas,
pendapat-pendapat tertentu kemudian berkembang menjadi opini
generalis, lalu opini publik, lalu konsesnsus. Karena itu,
waktu itu yang disebut sunnah ialah apa yang disebut Imam
Malik sebagai al-amr al-mujtama' 'alaih. Saya hampir
sependapat dengan Fazlur Rahman, kecuali dalam satu hal: Apa
yang disepakati tidak selalu berkembang dari hasil persaingan
pendapat yang demokratis. Seringkali yang disebut ijma' adalah
konsensus yang "ditetapkan" oleh penguasa politik waktu itu.
Tidak berlebih-lebihan kalau kita simpulkan bahwa fiqih
al-Khulafa al-Rasyidin adalah fiqih penguasa.
KESIMPULAN
Fiqh para sahabat --khususnya seperti diwakili oleh
al-Khulafa, al-Rasyidun-- adalah fondasi utama dari seluruh
bangunan fiqh Islam sepanjang zaman. Fiqih shahabi memberikan
dua macam pola pendekatan terhadap syari'ah yang kemudian
melahirkan tradisi fiqh yang berbeda. Ikhtilaf di antara para
sahabat, selain mewariskan kemusykilan bagi kita sekarang,
juga --seperti kata 'Umar ibn Abdul Aziz-- menyumbangkan
khazanah yang kaya untuk memperluas pemikiran. Tentu saja,
untuk itu diperlukan penelaahan kritis terhadapnya. Sayang
sekali, sikap kritis ini telah "dimatikan" dengan vonnis
zindiq oleh sebagian ahli hadits. Ada dua sikap ekstrim
terhadap sahabat yang harus dihindari: menghindari sikap
kritis atau melakukan sikap hiperkritis. Ketika banyak orang
marah karena 'Umar dikritik, 'Umar sendiri berkata, "Semoga
Allah meyampaikan kepadaku kesalahan-kesalahanku sebagai suatu
bingkisan." [41]
2. FIQH TABI'IN: FIQH USHUL
Sejak zaman sahabat (dan ini diakui para sahabat sendiri)
telah terjadi perubahan-perubahan dalam syari'at Islam. Suatu
ketika seorang tabi'in, Al-Musayyab memuji Al-Barra bin 'Azib:
"Beruntunglah Anda. Anda menjadi sahabat Rasulullah saw. Anda
berbaiat kepadanya di bawah pohon." Al-Barra menjawab, Hai
anak saudaraku, engkau tidak tahu hal-hal baru yang kami
adakan sepeninggal Rasulullah. [42] Kata ma ahdatsna (apa-apa
yang kami adakan) menunjukkan pada perbuatan bid'ah yang
dilakukan para sahabat Nabi. Diriwayatkan bahwa pada hari
kiamat ada rombongan manusia yang pernah menyertai Nabi diusir
dari al-haudh (telaga). Nabi saw: "Ya Rabbi, mereka sahabatku.
Dikatakan kepadanya: Engkau tak tahu apa-apa yang mereka
ada-adakan sepeninggal kamu. [43]
Bid'ah-bid'ah ini telah mengubah sunnah Rasulullah saw.
Sebagian sahabat mulai mengeluhkan terjadinya perubahan ini.
Imam Malik meriwayatkan dari pamannya Abu Suhail bin Malik,
dari bapaknya (seorang sahabat). Ia berkata: Aku tidak
mengenal lagi apa-apa yang aku lihat dilakukan "orang" kecuali
panggilan shalat. Al-Zarqani mengomentari hadits ini: Yang
dimaksud "orang" adalah sahabat. Adzan tetap seperti dulu.
Tidak berubah, tidak berganti. Ada pun shalat, waktunya telah
diakhirkan, dan perbuatan yang lain telah berubah. [44] Imam
Syafi'i meriwayatkan dari Wahab bin Kaysan. Ia melihat Ibn
Zubair memulai shalatnya sebelum khutbah, kemudian berkata:
Semua sunnah Rasulullah saw sudah diubah, sampai shalat pun.
[45] Kata Al-Zuhri: Aku menemui Anas bin Malik di Damaskus. Ia
sedang menangis. "Mengapa Anda menangis," tanya Al-Zuhri. Anas
menjawab, "Aku sudah tidak mengenal lagi apa yang aku lihat,
kecuali shalat. Ini pun sudah dilalaikan orang". [46] Al-Hasan
al-Bashri menegaskan: "Seandainya sahabat-sahabat Rasulullah
saw lewat, mereka tidak mengenal kamu (yang kamu amalkan)
kecuali kiblat kamu". [47] 'Umran bin al Husain pernah shalat
di belakang Ali. Ia memegang tangan Muthrif bin Abd Allah dan
berkata: Ia telah shalat seperti shalatnya Muhammad saw. Ia
mengingatkan aku pada Shalat Muhammad saw. [48]
Jadi pada zaman sahabat pun, sunnah Nabi sudah banyak diubah.
Salah satu sebab utama perubahan adalah campur tangan
penguasa. Karena pertimbangan politik, Bani Umayyah telah
mengubah sunnah Nabi, khususnya yang dijalankan secara setia
oleh Ali dan para pengikutnya. Ibn 'Abbas berdoa: Ya Allah,
laknatlah mereka. Mereka meninggalkan sunnah karena benci
kepada Ali. [49] Contohnya, menjaharkan basmalah, sebagai
upaya menghapus jejak Ali. [50] Contoh yang lain adalah sujud
di atas tanah, yang menjadi tradisi Rasulullah saw dan para
sahabat Nabi seperti Abu Bakar, Ibn Mas'ud, Ibn 'Umar, Jabir
ibn Abdullah dan lain-lain. Dalam perkembangannya, sujud di
atas kain menjadi syi'ar Ahl al-Sunnah; sedangkan sujud di
atas tanah dianggap musyrik dan dihitung sebagai perbuatan
zindiq". [51]
Contoh-contoh di atas menunjukkan bagaimana campur tangan
kekuasaan politik membentuk fiqh. Karena fiqh lebih banyak
didasarkan pada al-hadits, penguasa politik kemudian melakukan
manipulasi hadits dengan motif politik. Fiqh Tab'in, selain
mengambil hadits sebagai sumber hukum, juga mengambil ijtihad
para sahabat. Sebab itu, kita juga akan mengupas kemusykilan
ijtihad sahabat. Karena pendapat-pendapat para sahabat terbagi
dua --yang berpusat pada al-hadits dan al-ra'y-- kita akan
membicarakan juga tradisi fiqh al-atsar dan fiqh al-ra'y.
Secara keseluruhan, kita lebih banyak menelaah ushul ketimbang
fiqh. Hal ini disebabkan ushul adalah sandaran para tabi'in;
dan karenanya secara singkat ia disebut Fiqh al-ushul.
Sebelum membahas itu semua, marilah kita lihat sedikit latar
belakang fiqh tabi'in.
APA YANG DIMAKSUD DENGAN FIQH TABI'IN
Setelah Nabi Muhammad saw meninggal dunia, orang-orang Islam
bertanya pada sahabat dalam urusan hukum-hukum agama. Tidak
semua sahabat menjawab pertanyaan mereka; dan mereka pun tidak
bertanya pada semua sahabat. Sebagian sahabat sedikit sekali
memberi fatwa, mungkin karena ketidaktahuan, kehatihatian,
atau lagi-lagi pertimbangan politis. Sebagian lagi banyak
sekali memberi fatwa, mungkin karena pengetahuan mereka, atau
karena posisinya memungkinkan untuk itu.
Menarik untuk dicatat, bahwa dalam khazanah fiqh ahl al-Sunnah
para khalifah sedikit sekali memberi fatwa atau meriwayatkan
al-hadits. Abu bakar meriwayatkan hanya 142 hadits, Umar 537
hadits, Utsman 146 hadits, Ali 586 hadits. Jika semua hadits
mereka disatukan hanya berjumlah 1411 hadits, kurang dari 27%
hadits yang diriwayatkan Abu Hurairah (Abu Huraiah
meriwayatkan 5374 hadits).
Karena itu, para tabi'in, yakni mereka yang berguru pada
sahabat, umumnya bukanlah murid al-Khulafa al-Rasyidin. Dalam
pada itu, ketika kekuasaan Islam meluas, hanya sedikit para
sahabat yang meninggalkan Madinah. Dalam kaitan ini, Abu
Zahrah menulis: [52]
Sebenarnya, sebelum Dinasti Umayyah berkuasa, tidak banyak,
bahkan sedikit sekali sahabat yang keluar dari Madinah. Umar
bin Khatab menahan para sahabat senior di Madinah dan melarang
mereka meninggalkan kota itu. Pertama, 'Umar ingin mengambil
manfaat dari pendapat mereka. Kedua, ia mempertimbangkan
alasan-alasan, baik secara politik maupun administratif dalam
pemerintahan. Baru ketika Utsman memerintah, mereka diizinkan
keluar. Yang keluar kebanyakan bukan fuqaha. Juga bukan
sahabat senior, kecuali yang diizinkan keluar oleh Umar,
seperti Abdullah bin Mas'ud, Abu Musa al-Asy'ari, dan
lain-lain. Sahabat yang terkenal punya banyak murid adalah Ibn
Mas'ud di Iraq, Abdullah ibn 'Umar serta ayahnya Al-Faroq,
Zaid ibn Tsabit dan lain-lain di Madinah.
Kebanyakan, menurut Abu Zahrah, murid-murid sahabat itu para
mawali (non Arab). Fiqh tabi'in, karena itu, umumaya fiqh
mawali. Dari sahabat, para tabi'in mengumpulkan dua hal:
Hadits-hadits Nabi saw dan pendapat-pendapat para sahabat
(aqwal al-shahabat). Bila ada masalah baru yang tidak terdapat
pada kedua hal tersebut, mereka melakukan ijtihad seperti atau
dengan metode yang dilakukan para sahabat. Banyak diantara
tabi'in yang mencapai faqahah (kefaqihan) begitu rupa sehingga
sahabat (sic!) berguru pada mereka. Qabus ibn Abi Zhabiyan
berkata: Aku tanya ayahku, mengapa Anda tinggalkan sahabat dan
mendatangi 'Alqamah. Ayahku menjawab Aku menemukan
sahabat-sahabat Nabi bertanya kepada 'Alqamah dan meminta
fatwanya. Ka'ab al-Ahbar sering dimintai fatwa oleh Ibn Abbas,
Abu Hurairah, dan Abdullah ibn Amr. 'Alqamah dan Ka'ab
keduanya tabi'in.
Ada tujuh orang faqih tabi'in yang terkenal (al-fuqaha
al-sab'ah): Sa'id ibn Musayyab (wafat 93 H), 'Urwah ibn
al-Zubair (wafat 94 H), Abu Bakar ibn 'Abid (wafat 94 H),
Al-Qasim ibn Muhammad ibn Abu Bakar (Wafat 108 H), Abidullah
ibn Abdillah (wafat 99 H), Sulayman ibn Yasar (wafat 100 H)
dan Kharijah ibn Zaid ibn Tsabit (wafat?). Di samping mereka
ada 'Atha ibn Abi Rabah, Ibrahim al-Nakh'i, Al-Syu'bi, Hamad
ibn Abu Sulayman Salim mawla Ibn Umar, dan 'Ikrimah mawla Ibn
Abbas.
BUKTI-BUKTI MANIPULASI HADITS
Di sini tidak ditunjukkan manipulasi hadits kecuali seperti
tampak pada kitab-kitab hadits yang ada sekarang. Dari situ
paling tidak kita melihat petunjuk (indikator) manipulasi
hadits pada zaman tabi'in. Contoh-contoh yang diberikan di
sini difokuskan pada manipulasi yang diduga beralasan politis.
Ada beberapa cara manipulasi hadits, antara lain sebagai
berikut.
Pertama, membuang sebagian isi hadits dan menggantinya dengan
kata-kata yang tidak jelas. Ketika Marwan menjadi Gubernur
Mu'awiyah di Hijaz, ia meminta rakyat untuk membaiat Yazid.
Abd al-Rahman ibn Abu Bakar memprotes Marwan sambil berkata.
"Kalian menginginkan kekuasaan ini seperti kekuasaan
Heraclius!". Marwan marah dan menyuruh orang menangkap Abd
al-Rahman. Ia lari ke kamar 'Aisyah ra, saudaranya. Marwan
berkata: Ayat al-Qur'an: alladzi qala liwalidaihi uffin lakum
turun tentang Abd al-Rahman. 'Aisyah menolak asbab al-nuzul
ini. Shahih Bukhari menghilangkan ucapan Abd al-Rahman dengan
mengatakan faqaala 'Abd al-Rahman ibn 'Abi Bakar syai'an (Abd
al-Rahman mengatakan sesuatu). [53] Dengan cara itu, kecaman
kepada Mu'awiyah dan Marwan tidak diketahui. Kehormatan
Khalifah dan Gubernurnya terpelihara. Dalam tarikhnya,
al-Thabari meriwayatkan ucapan Nabi saw tentang Ali: "Inilah
washihu dan khalifahku untuk kamu". Kata-kata ini dalam Tafsir
al-Thabari dan Ibn Katsir diganti dengan: wa kadza wa kadza
(demikianlah-demikianlah). Tentu saja kata "washi"dan
"khalifah" mempunyai konotasi yang sangat jelas. [54]
Kedua, membuang seluruh berita tentang sahabat dengan petunjuk
adanya penghilangan itu. Muhammad ibn Abu Bakar menulis surat
kepada Mu'awiyah menjelaskaan keutamaan Ali sebagai washi Nabi
saw. Mu'awiyah pun mengakuinya. Isi surat ini secara lengkap
dimuat dalam Kitab Shiffin dari Nashr bin Mazahim (wafat 212
H) dan Muruj al-Dzahab tulisan al-Mas'udi (wafat 246 H).
Al-Thabari (wafat 310 H) melaporkan peristiwa itu dengan
menunjuk kedua kitab di atas sebagai sumber. Tetapi ia
membuang semua isi surat itu dengan alasan "supaya orang
banyak tidak resah mendengarkannya." Ibn Atsir dalam
Al-Bidayah wa al-Nihayah juga menghilangkan kedua surat itu
dengan mengemukakan alasan yang sama. [55]
Ketiga, memberikan makna lain (ta'wil) pada hadits. Al-Dzahabi
ketika meriwayatkan biografi Al-Nasai menulis, ketika al-Nasai
diminta meriwayatkan keutamaan Mu'awiyah, ia berkata, "hadits
apa yang harus aku keluarkan kecuali ucapan Nabi, semoga Allah
tidak mengenyangkan perut Mu'awiyah". Kata Al-Dzahabi:
Barangkali yang dimaksudkan dengan keutamaan Mu'awiyah ini
adalah ucapan Nabi saw: Ya Allah, siapa yang aku laknat atau
aku kecam, jadikanlah laknat dan kecaman itu kesucian dan
rahmat baginya. [56] Bagaimana mungkin laknat Nabi menjadi
kesucian dan rahmat; tetapi Bukhari dan Muslim memang
meriwayatkan hadits ini. [57] Al-Thabrani dalam Majma'
al-Zawaid meriwayatkan ucapan Rasulullah saw kepada Salman
bahwa Ali adalah washi-nya. Al-Thabrani memberi komentar: Ia
menjadikan washi untuk keluarganya, bukan untuk Khalifah.
Keempat, membuang sebagian isi hadits tanpa menyebutkan
petunjuk ke situ atau alasan. Ibn Hisyam mendasarkan tarikhnya
pada tarikh Ibn Ishaq. "Tetapi aku tinggalkan sebagian riwayat
Ibn Ishaq yang jelek bila disebut orang", kata Ibn Hisyam
dalam pengantarnya. Di antara yang dibuang itu adalah kisah
"wa andzir 'asyirataka al-aqrabin". Dalam Ibn Ishaq
diriwayatkan Nabi saw berkata; "Inilah saudaraku, washiku, dan
khalifahku untuk kamu." [58] Belakangan ini Muhammad Husayn
Haykal, dalam Hayat Muhammad melakukan hal yang sama. Pada
bukunya, cetakan pertama, ia mengutip ucapan Nabi: Siapa yang
akan membantuku dalam urusan ini supaya menjadi saudaraku,
washiku dan Khalifahku untuk kamu. Pada Hayat Muhammad,
cetakan kedua (Tahun 1354), ucapan Nabi saw ini dihilangkan
sama sekali.
Kelima, melarang penulisan hadits Nabi saw. Berkenaan dengan
ini bagian "Fiqh al-Khulafa' al-Rasyidin" di atas. Beberapa
tabi'in juga melarang penulisan hadits.
Keenam, mendha'ifkan hadits-hadits yang mengurangi kehormatan
penguasa atau yang menunjang keutamaan lawan. Ibn Katsir
mendha'ifkan riwayat Nabi tentang Ali sebagai Washi. Ia
menganggap riwayat itu sebagai dusta, yang dibuat-buat oleh
orang Syi'ah, atau orang-orang yang bodoh dalam ilmu hadits.
[69] Ia lupa bahwa hadits ini diriwayatkan dari banyak sahabat
Nabi oleh Imam Ahmad, Al-Thabari, Al-Thabrani, Abu Nu'aim
al-Isbahani, Ibnu 'Asakir dan lain-lain. Al-Syu'bi
meriwayatkan hadits dari Al-Harits al-Hamdani. Ia berkata:
menyampaikan padaku Al-Harits, salah seorang pendusta. Ibn Abd
al-Barr mengomentari ucapan al-Syu'bi: Ia tidak menjelaskan
apa alasan dusta untuk Al-Harits. Ia membenci Al-Harits karena
kecintaannya yang berlebihan pada Ali dan mengutamakan Ali di
atas sahabat yang lain. Karena itu, wallahu a'lam, Al-Syu'bi
mendustakan Al-Harits; Al-Syuibi mengutamakan Abu Bakar, dan
bahwa Abu Bakar adalah orang yang pertama masuk Islam.
3. Lahirnya Madzhab-madzhab Fiqh
Ketika al-Manshur baru saja diangkat menjadi khalifah, ia
mengundang Malik ibn Anas, Ibn Sam'an dan Ibn Abi Dzuaib. Ia
dikawal para prajurit dengan pedang-pedang terhunus. Setelah
berbicara panjang, Khalifah bertanya. "Bagaimana pendapat
kalian tentang diriku? Apakah aku pemimpin adil atau zalim?"
Malik bin Anas berkata: "Ya Amiral Mu'minin, aku tawassul
padamu dengan Allah swt dan aku meminta tolong padamu dengan
Muhammad saw dan dengan kekeluargaanmu padanya, maafkanlah aku
untuk tidak berbicara." "Aku maafkan Anda", kata al-Manshur.
Kemudian ia melirik kepada Ibn Sam'an: "Bagaimana pendapat
kamu?" Kata Ibn Sam'an: "Anda, demi Allah, orang yang paling
baik. Demi Allah, ya Amir al-Mu'minin, Anda berhaji ke
Baitullah; Anda perangi musuh; Anda berikan keamanan di jalan;
Anda lindungi orang yang lemah supaya tidak dimakan yang kuat.
Andalah tonggak agama, orang terbaik, dan umat teradil."
Kemudian al-Manshur melirik Ibn Abi Dzuaib. "Atas nama Allah
bagaimana pendapatmu tentang diriku?" Yang ditanya menjawab,
"Menurut pendapatku, Anda manusia terjahat, demi Allah. Anda
merampas harta Allah, RasulNya, dan bagian keluarga Rasul,
anak yatim, dan orang miskin. Anda hancurkan yang lemah, Anda
persulit orang yang kuat. Anda tahan harta mereka. Apa
alasanmu di hadapan Allah nanti?"
"Celaka kamu, tidakkah kamu lihat apa yang ada dihadapanmu?"
kata al-Manshur. "Benar, aku lihat pedang dan itu berarti
kematian. Bagiku sama saja apakah mati itu dipercepat atau
diperlambat."
Peristiwa di atas, yang dikisahkan Ibn Qutaybah. menunjukkan
posisi Malik ibn Anas dibandingkan ulama yang sezaman
dengannya. Ibn Abi Dzuaib, nama lengRapnya Abu al-Harit
Muhammad ibn Abd al-Rahman ibn al-Mughirah ibn Dzuaib
al-'Amiri, adalah seorang alim yang terkenal faqih dan wara.
Menurut al-Dahlawi, di samping Malik, Ibn Dzuaib adalah orang
yang membukukan hadits di Madinah. Tapi, namanya hampir tidak
pernah disebut dalam buku-buku tarikh. Ia lebih berani, dan
boleh jadi lebih faqih dari Malik. Namun sekarang hampir tidak
ada orang yang mengenalnya.
Sejarah memang hanya memihak yang menang. Fame bestows no
favors upon the losers. Malik bin Anas kelak terkenal sebagai
pendiri madzhab Maliki, dengan para pengikut yang tersebar di
berbagai bagian dunia Islam. Ibn Dzuaib, tentu saja tidak
dikenal. Imam Malik menjadi terkemuka setelah al-Manshur
memberikan segala kehormatan kepadanya. Ketika naik haji,
al-Manshur berkata kepada Malik: "Saya punya rencana untuk
memperbanyak kitab yang kau susun ini, yaitu saya salin, dan
kepada setiap wilayah kaum Muslim saya kirim satu naskah,
serta saya instruksikan agar mereka mengamalkan isinya
sehingga mereka tidak mengambil yang lain." Begitu pula,
ketika Harun al-Rasyid berkuasa, ia bermusyawarah dengan Malik
untuk menggantungkan al-Muwaththa pada Ka'bah dan
memerintahkan orang untuk beramal menurut Kitab itu. Walau
Malik menolak rencana kedua khalifah itu, kita tahu bahwa
Malik didukung para penguasa.
Masih sezaman dengan Malik dan bahkan Malik pernah berguru
kepadanya, adalah faqih dari keluarga Rasulullah saw, Ja'far
al-Shadiq. Ia pun hampir tidak dikenal kecuali pada kalangan
pengikutnya saja. Malik berkata tentang Ja'far: "Aku pernah
berguru pada Ja'far bin Muhammad beberapa waktu. Aku tidak
pernah melihatnya kecuali dalam salah satu di antara tiga
keadaan: sedang shalat, sedang puasa, atau sedang membaca
al-Qur'an. Tidak pernah aku lihat ia meriwayatkan hadits dari
Rasulullah kecuali dalam keadaan suci. Ia tak bicara sesuatu
yang tak manfaat, dan ia termasuk ulama yang taat beribadah,
zuhud, yang hanya takut kepada Allah saja." Sifat terakhir ini
justru menyebabkan Ja'far tidak disenangi penguasa. Fiqhnya
"dicurigai" dan para pengamalnya dianiaya.
Seperti akan kita uraikan nanti, sebetulnya banyak madzhab
muncul, tetapi karena tidak didukung penguasa, madzhab-madzhab
itu akhirnya hilang dari catatan sejarah. Dalam tulisan ini
kita akan mencatat beberapa orang tokoh madzhab yang
terlupakan. Tapi sebelum itu, kita akan meninjau latar
belakang historis dari tumbuhnya madzhab-madzhab fiqh. Pada
akhir bagian ini kita akan membicarakan "pokok dan tokoh"
madzhab yang masih memiliki banyak pengikut sampai sekarang.
SEJARAH PEMBENTUKAN MADZHAB
Kelima Madzhab yang akan kita bicarakan -Ja'fari, Maliki,
Hanafi, Syafi'i, dan Hanbali-- tumbuh pada zaman kekuasaan
dinasti Abbasiyah. Pada zaman sebelum itu, bila orang
berbicara tentang madzhab, maka yang dimaksud adalah madzhab
di kalangan sahabat Nabi: Madzhab Umar, Aisyah, Ibn Umar, Ibn
Abbas, Ali dan sebagainya. Para sahabat dapat dikelompokkan
dalam dua besar. Yaitu ahl al-Bayt dan para pengikutnya, juga
para sahabat di luar ahl al-Bayt. Ali dan kedua puteranya, Abu
Dzarr, Miqdad, 'Ammar bin Yasir, Hudzaifah, Abu Rafi Mawla
Rasulullah, Ummi Salamah, dan sebagainya, masuk kelompok
pertama. Sedangkan Abu Bakar, Umar, Utsman, Aisyah, Abu
Hurairah dan lain-lain masuk kelompok kedua.
Murtadha al-'Askary menyebut dua madzhab awal ini sebagai
Madrasah al-Khulafa dan Madrasah Ahl al-Bayt. Kedua madrasah
ini berbeda dalam menafsirkan al-Qur'an, memandang sunnah
Rasulullah, dan melakukan istinbath hukum. Pada zaman
kekuasaan dinasti Umawiyyah, madrasah al-Khulafa bercabang
lagi ke dalam dua cabang besar: Madrasah al-Hadits dan
Madrasah al-Ra'y. Yang pertama, berpusat di Madinah,
melandaskan fiqhnya pada al-Qur'an, al-Sunnah dan Ijtihad para
sahabat, dan sedapat mungkin menghindari ra'yu dalam
menetapkan hukum. Yang kedua, berpusat di Iraq, sedikit
menggunakan hadits dan lebih banyak berpijak pada penalaran
rasional dengan melihat sebab hukum (illat) dan tujuan syara'
(maqashid syar'iyyah).
Sementara itu, Madrasah ahl al-Bayt tumbuh "di bawah tanah"
mengikuti para imam mereka. Karena tekanan dan penindasan,
mereka mengembangkan esoterisme dan disimulasi untuk
memelihara fiqh mereka. Ibn Qutaybah dalam Kitab al-Ikhtilaf
menceritakan bagaimana raja-raja Umawiyyat berusaha
menghapuskan tradisi ahl al-Bayt dengan mengutuk Ali bin Abi
Thalib di mimbar-mimbar, membunuh para pengikut setianya, dan
mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan ahl al-Bayt. Tidak
jarang sunnah Rasulullah yang sahih ditinggalkan karena sunnah
itu dipertahankan dengan teguh oleh para pengikut ahl al-Bayt.
Ibn Taymiyyah menulis perihal tasyabbuh dengan syiah: "Dari
sinilah para fuqaha berpendapat untuk meninggalkan
al-mustahabbat (yang sunat) bila sudah menjadi syiar
orang-orang Syi'ah. Karena walaupun meninggalkannya tidak
wajib menampakkannya berarti menyerupai (tasyabbuh) mereka,
sehingga sunni tidak berbeda dengan syi'ah. Kemaslahatan
berbeda dengan mereka dalam rangka menjauhi dan menentang
mereka lebih besar dari kemaslahatan mengamalkan yang musthab
itu." Salah satu contoh sunnah yang dijauhi orang adalah
tasthih seperti diceritakan oleh Muhamamd bin 'Abd al-Rahma
yang berkata: "Yang sunnah dalam membuat kubur adalah
meratakan permukaan kubur (tasthith). Inilah yang paling kuat
menurut madzhab Syaf'i. "Tapi Abu Hanifah dan Ahmad berkata:
"Menaikkan permukaan kubur (tasnim) lebih baik, karena tasthih
sudah menjadi syi'ar sy'iah."
Pada periode Umawiyyah, madrasah-madrasah itu tidak melahirkan
pemikiran-pemikiran madzhab. Dr. Muhammad Farouq al-Nabhan
menjelaskan sebab-sebab berikut: a) Hubungan yang buruk antara
ulama dan khulafa. Banyak tokoh sahabat dan tabi'in yang
menganggap daulat Umawiyyah ditegakkan di atas dasar yang
batil. Para khalifah banyak melakukan hal-hal yang melanggar
sunnah Rasulullah saw b) Terputusnya hubungan antara pusat
khilafah dengan pusat ilmiah. Waktu itu, pusat pemerintahan
berada di Syam, sedangkan pusat-pusat ilmiah berada di Iraq
dan Hijaz; c) Politik diskriminasi yang mengistimewakan orang
Arab di atas orang bukan Arab. Dinasti Umawiyah memisahkan
Arab dan mawali. Kebijakan ini menyebabkan timbulnya rasa
tidak senang pada para mawali - yang justru lebih banyak pada
daerah kekuasaan Islam. Banyak di antara mereka adalah para
sarjana dalam berbagai disiplin ilmu.
Karena itu pada permulaan pemerintahannya, Dinasti Abbasiyah
disambut dengan penuh antusias baik oleh mawali maupun
pengikut ahl al-Bayt. Di antara mawali itu adalah Abu Hanafi
dan di antara imam ahl al-Bayt adalah Ja'far bin Muhammad.
Keduanya mengembangkan ajaran mereka pada zaman Abbasiyah.
IMAM-IMAM MADZHAB YANG TERLUPAKAN
Sudah disebutkan di muka, bahwa madzhab-madzhab besar yang
kita kenal sekarang --kecuali mazhab Ja'fari-- membesar karena
dukungan penguasa. Madzhab Hanafi mulai berkembang ketika Abu
Yusuf, murid Abu Hanifah, diangkat menjadi qadhi dalam
pemerintahan tiga khalifah Abbasiyah: al-Mahdi, al-Hadi, dan
al-Rasyid. Al-Kharaj adalah Kitab yang disusun atas permintaan
al-Rasyid. Kitab ini adalah rujukan utama madzhab Hanafi.
Madzhab Maliki berkembang di khilafah Timur atas dukungan
al-Manshur dan di khilafah Barat atas dukungan Yahya bin Yahya
ketika diangkat menjadi qadhi oleh para khalifah Andalusia. Di
Afrika, al-Mu'iz Badis mewajibkan seluruh penduduk untuk
mengikuti madzhab Maliki. Madzhab Syafi'i membesar di Mesir
ketika Shalahuddin al-Ayyubi merebut negeri itu. Madzhab
Hanbali menjadi kuat pada masa pemerintahan al-Mutawakkil.
Waktu itu al-Mutawakkil tidak mengangkat seorang qadhi kecuali
dengan persetujuan Imam Ahmad ibn Hanbal.
Dalam menyimpulkan semua ini, Syah Wali al-Dahlawi menulis:
"Bila pengikut suatu madzhab menjadi masyhur dan diberi
wewenang untuk menetapkan keputusan hukum dan memberikan
fatwa, dan tulisan mereka terkenal di masyarakat, lalu orang
mempelajari madzhab itu terang-terangan. Dengan begitu,
tersebarlah madzhabnya di seluruh penjuru bumi. Bila para
pengikut madzhab itu lemah dan tidak memperoleh posisi sebagai
hakim dan tidak berwewenang memberi fatwa, maka orang tak
ingin mempelajari madzhabnya. Lalu madzhab itu pun hilang
setelah beberapa lama."
Beberapa madzhab yang hilang itu secara singkat diuraikan
sebagai berikut:
1. Madzhab al-Tsawri. Tokoh madzhab ini adalah Abu Abd
Allah Sufyan bin Masruq al-Tsawry. Lahir di Kufah tahun
65 H dan wafat di Bashrah tahun 161 H. Imam Ahmad
menyebutnya sebagai seorang faqih, ketika Ahmad menyebut
dirinya hanya sebagai ahli hadits. Ia berguru pada
Ja'far al-Shadiq dan meriwayatkan banyak hadits. Ayahnya
termasuk perawi hadits yang ditsiqatkan Ibn Ma'in.
Berkali-kali al-Manshur mau membunuhnya, tetapi ia
berhasil lolos. Ketika ia diminta menjadi qadhi, ia
melarikan diri dan meninggal di tempat pelarian.
Pahamnya diikuti orang sampai abad IV Hijrah;
2. Madzhab Ibn 'Uyaiynah. Nama lengkapnya Abu Muhammad
Sufyan ibn 'Uyaiynah wafat tahun 198 H. Ia mengambil
ilmu dari Imam Ja'far, al-Zuhry, Ibn Dinar, Abu Ishaq
dan lain-lain. Di antara yang mengambil riwayat dari
padanya adalah Syafi'i. Ia memberi komentar: "Seandainya
tidak ada Malik dan Ibn 'Uyaiynah, hilanglah ilmu Hijaz.
Madzhabnya diamalkan orang sampai abad IV, tetapi
setelah itu hilang karena tidak ada dukungan penguasa.
3. Madzhab al-Awza'iy. Pendirinya Abd al-Rahman bin Amr
al-Awza'iy adalah imam penduduk Syam. Ia sangat dekat
dengan Bani Umayyah dan juga Bani Abbas. Madzhabnya
tersisihkan hanya ketika Muhammad bin Utsman dijadikan
qadhi di Damaskus dan memutuskan hukum menurut Madzhab
Syafi'i Ketika Malik ditanya tentang siapa di antara
yang empat (Abu Hanifah, al-Awza'iy, Malik dan
al-Tsawry) yang paling benar? Malik berkata:
"Al-Awza'iy." Mazhabnya diamalkan orang sampai tahun 302
H;
4. Madzhab al-Thabary. Abu Ja'far Muhammad ibn Jarir ibn
Yazid ibn Khalid ibn Ghalib al-Thabary lahir di
Thabaristan 224 H dan wafat di Baghdad 310 H. Ia
termasuk mujtahid ahl al sunnah yang tidak bertaklid
kepada siapa pun. Kata Ibn Khuzaymah: Ia hafal dan paham
al-Qur'an; mengetahui betul makna al-Qur'an. Ia faqih,
mengetahui sunnah dan jalan-jalannya; dapat membedakan
yang sahih dan yang lemah, yang nasikh dan yang mansukh
dan paham akan pendapat para sahabat. Tidak diketahui
sampai kapan madzhabnya diikuti orang.
5. Madzhab al-Zhahiry. Abu Sulayman Dawud ibn 'Ali
dilahirkan di Kufah tahun 202 H dan hidup di Baghdad
sampai tahun 270 H. Madzhabnya berkembang sampai abad
VII. Salah seorang muridnya yang masyhur adalah Ibn
Hazm. Ia diberi gelar al-Zhahiry karena berpegang secara
harfiah pada teks-teks nash. Ia berkembang di daerah
Maroko, ketika Ya'qub ibn Yusuf ibn Abd al-Mu'min
meninggalkan mazhab Maliki dan mengumumkan
perpindahannya ke madzhab al-Zhahiry.
Inilah sebagian di antara tokoh-tokoh madzhab yang tidak lagi
dianut secara resmi sekarang ini. Berikut adalah para pemuka
madzhab yang terkenal. Karena riwayat hidup mereka sudah
disebutkan di atas --kecuali Imam Ja'far-- di sini hanya
disebutkan beberapa catatan kecil saja. Pokok-pokok pikirannya
dalam fiqh akan kita perkenalkan secara singkat.
IMAM JA'FAR IBN MUHAMMAD AL-SHIDIQ (82-140 H)
Ja'far ibn Muhammad ibn Ali ibn Husain (ibn Ali) ibn Fathimah
binti Rasulullah saw lahir di Madinah tahun 82 H pada masa
pemerintah Abd al-Malik ibn Marwan. Selama lima belas tahun ia
tinggal bersama kakeknya, Ali Zainal Abidin keturunan Rasul
yang selamat dari pembantaian di Karbela. Setelah Ali wafat,
ia diasuh oleh ayahnya Muhammad al-Baqir dan hidup bersama
selama sembilan belas tahun.
Ia sempat menyaksikan kekejaman al-Hajjaj, pemberontakan Zaid
ibn Ali, dan penindasan terhadap para pengikut madrasah ahl
al-Bayt. Ia juga menyaksikan naiknya al-Saffah dan al-Manshur
dengan memanipulasikan kecintaan orang pada ahl al-Bayt. Ia
juga menyaksikan bahwa para khalifah Abbasiyah tidak lebih
baik dari para khalifah Umawiyah dalam kebenciannya kepada
keluarga Rasul. Abu Zahrah menulis:
Dinasti 'Abbasiyah selalu merasa terancam dalam
kekuasaannya oleh para pengikut Ali. Kaum 'Alawi
menunjukkan nasab seperti mereka dan memiliki kekerabatan
dengan Rasulullah yang tidak dimililki 'Abbasiy.
Orang-orang yang menentang mereka semuanya berasal dari
'Alawiyyin. Mereka selalu cemas menghadapi mereka. Karena
itu, bila para penguasa 'Abbasiyah melihat ada dakwah
'Alawi, mereka segera menghukumnya. Bila mereka melihat
ada pejabat yang memuji Bani 'Ali, mereka segera
mengucilkannya atau membunuhnya. Mereka tak perduli
membunuh orang tak berdosa karena dianggap mengancam
pemerintahannya.
Dalam suasana seperti itulah, Imam Ja'far memusatkan
perhatiannya pada penyebaran sunnah Rasulullah dan peningkatan
ilmu dan akhlak kaum Muslim. Di antara murid-muridnya adalah
Imam Malik, al-Tsawry, Ibn 'Uyaiynah, Abu Hanifah, Syu'bah ibn
al-Hajjaj, Fadhail ibn Iyadh, dan ribuan para perawi.
Untuk mengetahui pemikiran Imam Ja'far dalam hal fiqh, kita
tuliskan percakapannya dengan muridnya selama dua tahun
seperti diceritakan Abu Nu'aim:
Abu Hanifah, Ibn Syabramah, dan Ibn Abi Layla menghadap
Imam Ja'far. Ia menanyakan Ibn Abi Layla tentang kawannya,
yang kemudian dijawab Ia orang pintar dan mengetahui
agama. "Bukankah ia suka melakukan qiyas dalam urusan
agama?," tanya Ja'far. "Benar."
Ja'far bertanya kepada Abu Hanffah: "Siapa namamu?"
"Nu'man."
"Aku tidak melihat Anda menguasai sedikit pun." kata
Ja'far sambil mengajukan berbagai pertanyaan yang tidak
bisa dijawab Abu
"Hai Nu'man, ayahku memberitahukan kepadaku dari kakekku
bahwa Nabi saw bersabda: Orang yang pertama menggunakan
qiyas dalam agama adalah iblis. Karena ketika Allah
menyuruhnya bersujud kepada Adam ia berdalih: Aku lebih
baik dari dia karena aku Kau buat dari api dan ia Kau buat
dari tanah. Barang siapa yang menggiyas dalam agama, Allah
akan menyertakannya bersama iblis, karena ia mengikutinya
dengan qiyas.
Manakah yang lebih besar dosanya - membunuh atau berzinah?
"Membunuh."
"Lalu, mengapa Allah hanya menuntut dua orang saksi untuk
pembunuhan dan empat orang saksi untuk zinah."
"Mana yang lebih besar kewajibannya - shalat atau shawm
(puasa)?"
"Shalat"
"Mengapa wanita yang haidh harus mengqadha shawmnya tetapi
tidak harus mengqadha shalatnya. Bagaimana kamu
menggunakan qiyasmu. Bertaqwalah kepada Allah dan jangan
melakukan qiyas dalam agama."
Dari percakapan di atas kita melihat perbedaan pendekatan
hukum di antara dua pemuka madzhab. Di antara karakteristik
khas dari madzhab Ja'fari, selain menolak qiyas adalah hal-hal
berikut: a) Sumber-sumber syar'iy adalah al-Qur'an, al-Sunnah
dan akal. Termasuk ke dalam sunnah adalah sunnah ahl al-Bayt:
yakni para imam yang ma'shum. Mereka tidak mau menjadikan
hujjah hadits-hadits yang diriwayatkan para sahabat yang
memusuhi ahl al-Bayt; b) Istihsan tidak boleh dipergunakan.
Qiyas hanya dipergunakan bila 'illat-nya manshush (terdapat
dalam nash). Pada hal-hal yang tak terdapat ketentuan nashnya,
digunakan akal berdasarkan kaidah-kaidah tertentu; c)
Al-Qur'an dipandang telah lengkap menjawab seluruh persoalan
agama. Tugas mujtahid adalah mengeluarkan dari al-Qur'an
jawaban-jawaban umum untuk masalah-masalah yang khusus. Karena
Rasulullah dan para imam adalah orang yang mengetahui
rahasia-rahasia al-Qur'an, penafsiran al-Qur'an yang paling
absah adalah yang berasal dari mereka.
IMAM ABU HANIFAH
Abu Hanifah terkenal sebagai alim yang teguh pendirian. Ia
menentang setiap kezaliman. Beberapa kali ia mengkritik
al-Manshur secara terbuka. Ketika Muhammad dan Ibrahim dari
ahl al-Bayt memberontak, Abu Hanifah mendukungnya. Begitu
pula, ketika Imam Zayd melawan penguasa, Abu Hanifah berbay'at
kepadanya. Abu Zahrah, penulis biografi Abu Hanifah, menulis:
"Sesungguhnya Abu Hanifah itu Syi'ah dalam kecenderungan dan
pendapatnya tentang penguasa di zamannya. Yakni, ia melihat
bahwa khalifah haruslah diserahkan pada keturunan Ali dari
Fathimah; dan bahwa para khalifah yang sezaman dengan mereka
telah merampas haknya dan karena itu mereka zalim."
Sikap Abu Hanifah itu, ditambah hasutan Ibn Abi Layla,
menimbulkan kemarahan Al-Manshur. Tapi karena kedudukan Abu
Hanifah di masyarakat, Al-Mansur tak dapat membunuhnya tanpa
alasan. Lalu ia menjebak Abu Hanifah dengan jabatan qadhi.
Ketika Abu Hanifah menolaknya, ia dipenjarakan. Setiap hari,
ia dicambuk sepuluh lecutan. Ia mengakhiri hidupnya, menurut
satu riwayat, karena diberi makanan beracun.
Abu Hanifah meninggalkan banyak murid. Di antaranya Abu Yusuf,
yang kemudian menjadi qadhi dan banyak memasukkan hadits dalam
kitab-kitabnya; Muhammad ibn Hasan al-Syaybany, yang pernah
berguru pada Malik dan kemudian menggabungkan madrasah hadits
dengan madrasah Ra'y; dan Zafr ibn al-Hudzail, yang sangat
ekstrem menggunakan qiyas.
Pokok fiqih madzhab Hanafi bersumber pada tiga hal: a)
Sumber-sumber naqliyah, yang meliputi al-Qur'an, al-Sunnah,
ijma, dan pendapat para sahabat. Abu Hanifah berkata, "Aku
mengambil dari al-Kitab, jika aku dapatkan di dalamnya. Bila
tidak, aku ambil Sunnah Rasulullah dan hadits-hadits yang
sahih, yang disampaikan oleh orang-orang yang dapat dipercaya.
Jika tidak aku dapatkan dalam al-Kitab dan Sunnah Rasulullah,
aku mengambil pendapat para sahabat yang aku kehendaki dan
meninggalkan yang tidak aku kehendaki. Aku tidak keluar dari
pendapat sahabat kepada pendapat yang lain. Bila sudah sampai
pada tabi'in, mereka berijtihad dan aku pun berijtihad,", b)
Sumber-sumber ijtihadiyah, yaitu dengan menggunakan qiyas dan
istihsan. c) Al-A'raf, yakni adat kebiasaan yang tidak
bertentangan dengan nash, terutama dalam masalah perdagangan.
Abu Hanifah bahkan mengarqurkan beramal dengan 'urif.
---------------
Jalaluddin Rahmat, dalam "Kontekstualisasi Doktrin Islam dalam Sejarah"
Editor : Buddy Munawar Rahman